Peran kampus swasta merupakan alternatif wadah tampung calon mahasiswa, terlebih kapasitas perguruan tinggi negeri terbatas.
Bantuan dan dukungan sepantasnya diarahkan bagi kampus swasta kecil yang berjibaku menghidupi entitas dirinya, menaungi mahasiswa dari lapisan sosial menengah bawah.
Bahwa kualitas pendidikan penting, untuk semua. Pemerataan kualitas ini, tanpa pandang bulu negeri dan swasta perlu diayomi.
Jika hal tersebut terjadi, potensi korupsi semakin direduksi. Lantas bagaimana bisa menghidupkan kampus negeri?
Dengan berbagai fasilitas yang diperoleh melalui pembiayaan negara, fokusnya dapat dialihkan pada peluang pengembangan keilmuan, melalui inkubator bisnis.
Jalur ini jelas tidak mudah, kampus dengan segala kapasitas intelektualnya harus menjadi lahan riset dan pengembangan yang mampu diambil dalam kerangka industri, bukan sekedar riset teoritik.
Problemnya, pragmatisme pendidikan tinggi juga telah sampai pada tahap yang paripurna, bila kita memiliki kepekaan yang sensitif pada isu pendidikan.
Hal itu diurai dalam buku Peter Fleming, Dark Academia: How Universities Die, 2021 yang menyebut bahwa modernisasi perguruan tinggi telah mengakibatkan proses komersialisasi, elitism, birokratisasi hingga menjadi hamba jurnal akademik.
Dengan begitu, dampak sosial dan keberadaan kampus di tengah masyarakat menyiratkan posisinya sebagai menara gading, "tinggi menjulang di awan, tetapi tidak mengakar di bumi".
Kampus dengan bantuan anggaran negara, kemudian menjadi lahan lapang dari penguatan struktur kelas masyarakat, dan PTS menjadi perwujudan kelompok marjinal.
Disrupsi harus dilakukan dalam pengelolan kampus secara nasional, orientasi pemangku kebijakan perlu dikembangkan dalam kerangka penguatan kapasitas perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, termasuk memastikan pemerataan kualitasnya.