Senyap! Dinamika kehidupan kampus dalam merespon perubahan sosial tercermin melalui corong komunikasi dan publikasi yang termuat dalam ruang pers kampus.
Kemunculan pers kampus dapat dimaknai sebagai sarana dalam memunculkan ide dan gagasan yang diusung oleh kelompok intelektual mahasiswa sebagai wacana alternatif.
Tidak banyak pers mahasiswa yang tersisa serta memiliki dampak secara sosial, batas wilayahnya terlokalisir di tingkat kampus secara internal, menjadi konsumsi terbatas.
Pada kondisi cekaknya pers kampus, kita kehilangan narasi dan literasi oposisi dari kehidupan sosial, karena arus dominan informasi menjadi seolah hak prerogatif kekuasaan.
Situasi serupa dinyatakan secara Fernando Baez, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, 2017, bahwa kehancuran media layaknya buku, sesungguhnya menghilangkan memori kolektif dan keberadaan beragam pemikiran berbeda.
Begitu pula pada seleksi alam pers mahasiswa. Perlu redefinisi tentang pers mahasiswa, karena banyak universitas membangun media komunikasi kehumasan, sebagai alat penjaga citra, jauh dari esensinya mewakili suara publik.
Keberadaan pers mahasiswa, tidak hanya menjadi produk khas dari kaum terpelajar berjuluk mahasiswa, dengan domain bahasan terikat secara keilmuan dalam kebebasan akademik, sekaligus kebebasan mimbar akademik.
Bagian yang terakhir, kebebasan mimbar akademik menyiratkan arti bahwa ada keharusan bagi kaum intelektual untuk menyuarakan ide-ide pencerahan secara eksternal kepada publik.
Cakupan pers mahasiswa tidak melulu berkutat di seputar persoalan akademik dan ilmu an sich, dapat meluaskan pandangannya pada problematika sosial sebagai masalah keseharian.
Dengan begitu, ada relasi integral tidak terpisah antara mahasiswa sebagai bagian dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dibutuhkan kejernihan dan sensitivitas mahasiwa sebagai agen moral.