Problem utamanya, ruang pers mahasiswa menyempit, semakin surut, menciut bersama dengan pragmatisme industri pendidikan. Tidak ada lagi dialog hangat multiperspektif, sifat perkuliahan menjadi monolitik.
Kehilangan minat, disertai dengan transformasi kampus yang bercorak industri, hingga semakin ketatnya jadwal kurikulum akademik, membuat tekanan serius bagi kehidupan pers mahasiswa.
Ketiadaan waktu, serta anggapan bahwa pers mahasiswa adalah tugas sampingan, termasuk intervensi kampus melalui mekanisme pendanaan kegiatan, (Arismunandar, 2012), mengakibatkan tenggelamnya eksistensi pers mahasiswa.
Padahal banyak dampak positif dari kehadiran pers mahasiswa, bila kuat mengakar pada kepentingan publik, (i) mendorong pemahaman kritis, (ii) mendekatkan pada realitas sosial, (iii) medium penyampaian pesan mewakili publik.
Pilar yang perlu ditambahkan dalam upaya menumbuhkan kembali minat pada pers mahasiswa adalah demokratisasi kampus.Â
Otonomi dalam konteks laku gerak dan pandu moral harus diterjemahkan secara mendalam, bukan sekedar soal mekanisme pembiayaan universitas.
Ibarat pohon, pers kampus hanya tumbuh subur bila akarnya mengikat kuat pada problematika publik, tumbuh di ruang demokratis dengan batang dan dahan menjulang setinggi langit.
Kita tentu berharap hadirnya kembali pers mahasiswa yang mampu bergaung di kancah kontestasi gagasan.
Terlebih, ketika publik semakin bising karena disrupsi teknologi menghadirkan sesaknya polusi informasi dari dengungan buzzer serta influencer sebagai wakil tangan-tangan pemilik kepentingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H