Dikepung teks. Kehidupan manusia dibentuk serta membentuk teks dan maknanya. Kita menjadi makhluk teks -homo tekstual yang mengenyam teks sejak dilahirkan.
Kelahiran sebuah negara bangsa pun tidak lepas dari teks proklamasi, sebagai pernyataan kemerdekaan. Dalam aspek kesejarahan, kita mengabadikan berbagai momentum dimasa lalu melalui teks yang dihasilkannya.
Tenggok saja, narasi dalam teks Sumpah Pemuda 1928, menjadi keinginan dan semangat untuk bersatu. Pada ilmu komunikasi, teks tidak hanya pada apa saja yang dapat terbaca, namun juga meluas di berbagai hal yang dapat dimaknai, ditafsir dan dipahami.
Teks tidak melulu soal teks itu sendiri.
Sebuah teks, jelas tidak berdiri sendiri. Bingkainya adalah konteks atau menjadi situasi dari yang melingkupinya. Teks dan konteks dapat melebur menjadi satu bentuk gugusan makna.
Bersama dengan hal itu, manusia bergerak serta menyusun diri, tumbuh dan berkembang secara dinamis.
Pada kajian teks, termuat ide dasar yang menjadi penggerak bernama wacana. Bagian yang terakhir ini disebut sebagai elemen praktik sosial, melekat serta tidak dapat terpisah dari teks maupun rangkaian teks.
Kita memproses teks dalam format konsumsi informasi, lalu memproduksi teks yang baru.
Teks itu sifat asalnya netral, namun bisa jadi sarat kepentingan. Teks dapat dikekang, dibatasi, diregulasi, agar tidak menjadi teks liar yang membangkang dan membahayakan, khususnya kepentingan kekuasaan.
Begitu kerja Ministry of Truth, melalui fungsi polisi pikiran dalam karya George Orwell, 1984. Kuasa panoptik yang mengawasi gerik laku kelompok yang tersubordinasi, sebagaimana penjelasan Foucault.
Manakala teks telah terpenjara, maka dominasi dan hegemoni kepentingan yang berkerja. Pemilik kuasa akan menciptakan ruang teks yang sesuai dengan seleranya.