Misteri! Masa depan penuh dengan ketidaktahuan. Berbagai proyeksi dapat dibuat, meski tidak ada yang pasti. Dalam kontinum perlintasan waktu, masa depan adalah hasil dari interaksi aktivitas di masa lalu serta apa yang terjadi hari ini.
Kita bisa berkhayal layaknya film fiksi Back to The Future, 1985, untuk memperbaiki sebuah kejadian di masa lampau dengan mempergunakan mesin waktu yang akan merubah rantai peristiwa di masa mendatang. Sampai hari ini, masih sebatas imajinasi.
Tetapi perkembangan ilmu pengetahuan melalui perangkat teknologi yang dipergunakan masih terus akan berkembang. Kecerdasan buatan, rekayasa genetik, pengelolaan mahadata adalah kemajuan mutakhir yang masih berproses.
Bersikap penuh kehati-hatian, dengan segenap kecermatan untuk menimbang risiko kemajuan teknologi tersebut juga harus diantisipasi. Di balik pencapaian dalam peradaban manusia, terdapat pula dampak negatif yang tidak terhindarkan, begitu sebut Ahmad Sihabudin dalam Technetronic Ethnocide, Teknologi Komunikasi Pembunuh Budaya, 2021. Buku yang disusun Guru Besar Komunikasi di Untirta itu terangkai dalam 20 bagian, sebanyak 222 halaman, membincang bagaimana laku budaya kita saat ini mulai mengalami perubahan.
Kondisi yang berubah tersebut berjalan seiring dengan laju adopsi teknologi komunikasi yang semakin terintegrasi dalam keseharian kehidupan masyarakat. Problemnya, terjadi perbenturan nilai-nilai baru atas budaya yang telah ada, sehingga menimbulkan krisis.
Situasi krisis ini, diidentifikasi melalui karakteristiknya, (i) surprise, (ii) threat, dan (iii) shirt response time, sifatnya terjadi mendadak dan perlu segera ditangani.Â
Ketidaksiapan menghadapi perubahan serta berhadapan dengan momentum krisis, berpotensi melenyapkan sendi budaya yang telah ada sebagai dasar pijakan kearifan lokal. Kepunahan budaya akibat difusi teknologi disebut sebagai -technetronic ethnocide.
Studi kasus nyatanya terlihat melalui kisah suku Sio di Papua ketika diteliti Edmund Carpenter seorang antropolog Amerika, yang memperkenalkan berbagai perangkat teknologi komunikasi modern.Â
Dalam kunjungan penelitian selanjutnya, ternyata telah terjadi perubahan pola dan gaya hidup masyarakat, menurut Carpenter, hal ini menggambarkan tercerabut publik dari pengalaman kesukuan menjadi individual.Â
Serapan teknologi menjadi pangkal penyebab, Suku Sio masih ada tetapi adat budayanya menghilang. Perubahan perilaku ini perlu dikaji ulang, dalam berbagai perspektif, akankah pertanda sebuah kemajuan modernitas? atau indikasi punahnya akar budaya?
Bagi sang penulis, yang merupakan profesor komunikasi lintas budaya, situasi ini perlu dicatat baik-baik, agar konteks keragaman budaya lokal tidak mengalami ketercerabutan akibat teknologi kebaruan. Perlu kemawasan dalam melihat fenomena tersebut.