Dianiaya! Perawat itu ditampar, ditendang juga dijambak (Kompas, 17/4) oleh ayah pasien. Videonya viral di media sosial, kemudian tagar #SavePerawatIndonesia bergema.Â
Setelah itu, pelakunya ditangkap, dan bersiap menghadapi proses pengadilan. Penyesalan datang terlambat.
Kasus tersebut terjadi bukan baru kali ini saja, sepanjang 2020-2021 dari catatan PPNI terdapat 7-8 kasus kekerasan di Indonesia yang dilakukan pihak sipil hingga pejabat (Detik, 17/4).Â
Gambaran tersebut menyadarkan kita, tentang tidak mudahnya berprofesi sebagai seorang tenaga kesehatan layaknya perawat.Â
Profesi tenaga kesehatan berada dalam tuntutan kompetensi yang mengharuskan adanya kepastian aspek keselamatan pasien, sekaligus keamanan bagi pemberi pelayanan itu sendiri.
Penting untuk melihat kasus penganiayaan perawat ini sebagai bagian pembelajaran penting, dalam upaya membangun relasi yang konstruktif antara pasien dan pemberi layanan.Â
Jembatan komunikasi harus dibangun untuk mereduksi emosi negatif berupa amarah, yang memunculkan peluang terjadinya konflik terbuka seperti hadirnya kekerasan fisik.
Menyesali Amarah
Sesaat setelah kemarahan meledak, kekacauan terjadi, kemudian penyesalan menghampiri, dalam hal tersebut kita perlu untuk mengelola kemarahan agar tidak berdampak destruktif.
Berkaca dari kejadian di awal artikel, penganiayaan terjadi dalam lingkup pola komunikasi yang diboboti emosi marah.
Emosi yang diperturutkan tersebut dalam konteks komunikasi menyebabkan kita kehilangan fokus, bahkan terkesan ingin segera dan secepatnya menyelesaikan permasalahan.