KESEPIAN. Di hari-hari terakhir berkuasanya, bisa jadi Trump mulai merasa ditinggalkan. Terutama sejak berbagai akses media sosial miliknya ditangguhkan. Pemblokiran akun resmi media sosial Trump, dalam posisinya sebagai presiden yang masih berkuasa adalah sebuah anomali.
Tetapi setelah kerusuhan di Gedung Capitol Hill yang diindikasi terlecut akibat pernyataan Trump di media sosial yang membuat berbagai perusahaan platform digital mengambil langkah lebih keras. Keputusan tersebut sejatinya telah menjadi sebuah perdebatan sejak keterpilihan Trump pada 2016.
Skandal Facebook dengan Cambridge Analytica menjadi kasus yang paling dibicarakan setelah Trump memenangi kontestasi Pilpres. Terutama terkait dengan penggunaan data pribadi dalam melakukan kampanye melalui strategi micro targeting atas profile user, guna membentuk opini politik.
Bahkan jika merujuk istilah Word of Year dalam kamus Oxford 2016, mengangkat istilah post truth. Sebuah kata yang didefinisikan sebagai bentuk dari hilangnya fakta-fakta objektif dibandingkan keyakinan subjektif. Hal ini sangat mungkin distimulasi dengan kepungan berita palsu -hoax.
Dunia digital menghadirkan kemungkinan tersebut, dan kondisi itu mulai bermunculan sebagai sebuah fenomena yang bangkit bersamaan dengan realitas politik populis di tingkat dunia.Â
Sebuah kondisi yang menurut Yasraf Amir Piliang, dalam Dunia yang Dilipat, 2020, merupakan konsekuensi dari perkembangan dinamis teknologi informasi dan komunikasi.
Kemajuan modernitas dalam aspek teknis berlangsung dalam kecepatan dan percepatan, menyebabkan dunia seolah dilipat serta memadat yang secara paralel mengakibatkan penekanan, pemaksaan hingga galat -error.
Perusahaan digital media sosial berperan dalam situasi tersebut, persis sebagaimana keterpilihan hingga diblokirnya akun Trump, dunia kini seakan hidup dari keriuhan jagat maya.
Proyeksi mengenai hal tersebut, sudah terbaca melalui analisis Roger McNamee dalam Zucked: Waking Up to the Facebook Catastrophe, 2019 yang menyebut terdapat ancaman dari algoritma media sosial Facebook yang berpotensi menjadi ancaman bagi "kesehatan" kehidupan publik dan demokrasi.
Keterbelahan sekaligus menguatnya polarisasi di Amerika, paska peristiwa pemilihan presiden adalah hasil yang dituai dari pelibatan serta penggunaan media sosial dan instrumen digital dalam melakukan kampanye politik. Hal yang serupa juga terjadi dibanyak negara di dunia, termasuk Indonesia.
Pada akhirnya, publik pula yang membayar mahal dari seluruh konsekuensi yang terjadi. Para aktor politik selalu mengambil celah peluang dalam kondisi yang sempit. Lebih jauh lagi, berbagai perusahaan digital tetap menangguk untung atas mobilisasi publik dalam hitungan crowd traffic jejaring online.