Melenakan. Berkaca pada kejadian aktual, dari kasus korupsi teranyar yang melibatkan pejabat negara sekelas menteri, membuat kita semakin memahami bahwa memang pada dasarnya kekuasaan itu koruptif. Persis sebagaimana Lord Acton menyebut power tends to corrupt.
Kekuasaan itu juga bersifat transaksional. Politik yang menghantarkan kekuasaan bersifat pragmatis. Tidak ada prinsip etik dan idealisme di dalamnya. Pergiliran kekuasaan sesungguhnya merupakan pergantian aktor dengan perilaku yang tidak berubah terhadap akses sumber daya finansial sebagai modal politik.
Hasil penelitian Berenschot & Aspinall, dalam Democracy for Sale: Pemilihan Umum, Klientilisme dan Negara di Indonesia, 2019 memberikan gambaran yang utuh mengenai perilaku koruptif sebagai bagian yang tidak bisa terpisahkan atas tindakan vote buying pada proses pemilihan politik.
Konsekuensi dari mahalnya ongkos politik tersebut membuat para aktor politik menggunakan kekuasaan melalui politik formal setelah terpilih untuk bertransaksi dalam upaya mengembalikan sumber daya yang terlah terpakai, sekaligus membentuk cadangan modal baru sebagai bahan persiapan pada periode pemilihan selanjutnya.
Situasi kali ini terbilang rumit. Terutama karena dampak ketidakpercayaan publik, sebagai imbas revisi UU KPK yang dikecam sebagai bentuk upaya sistematik dalam melemahkan kerja pemberantasan korupsi dari lembaga anti rasuah tersebut. Peristiwa penangkapan kasus korupsi dilingkar dalam kekuasaan jelas mengejutkan.
Pertama: momentum ini tentu diharapkan menjadi titik balik dari kerja KPK sebagai bentuk pembuktian kepercayaan kepada publik bahwa masih ada harapan. Kedua: kejadian kali ini semakin memperjelas bagaimana politik menjadi jalur basah dan alat transaksi, tidak peduli citra bersih aktor politik dikonstruksikan, gemerincing uang menggiurkan.
Konsistensi kinerja KPK perlu diuji lebih jauh dalam banyak kasus di masa lalu dan di masa depan, terutama pada tindak korupsi yang melibatkan wilayah politik. Tidak bisa bertepuk dada dengan sekadar mencomot satu kasus kali ini saja, dibutuhkan komitmen yang solid dalam fungsinya memberangus budaya korupsi yang kronis.
Bentuk jamak dari pola korupsi terkait dengan proses jual beli kewenangan dan otoritas yang dimiliki para pemangku kekuasaan, jalur politik menyediakan perangkat menuju kursi empuk dan tertinggi dari jabatan publik. Dibutuhkan tidak hanya instrumen aturan hukum yang rigid dalam menghadapi korupsi, tetapi juga sekaligus pembenahan di sektor politik.
Model solusinya terintegrasi, melibatkan peran serta para aktor termasuk kelembagaan partai politik serta kemampuan literasi aktif publik untuk berlaku rasional dalam memberikan legitimasi suara pada proses pemilihan. Interaksi dari timbal balik yang seimbang para pihak di ranah politik harus disusun ulang.
Lebih jauh lagi, sudah semestinya nilai-nilai etik dan moralitas menjadi pemandu yang terinternalisasi dalam diri para pihak yang berburu kuasa, karena dalam kekuasaan itu seharusnya urusan publik lebih didahulukan ketimbang sekedar syahwat berkuasa. Kita tentu mengutuk praktik politik ala Machiavelli  dengan sifat licik ala rubah, sekaligus buas layaknya singa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H