Nuansa situasi psikologi publik berhadapan dengan pandemi diliputi dengan kecemasan dan tidak menentu, dimana ketidakpastian menjadi awan tebal dalam membaca masa depan.
Bila kondisi psikologi publik hal itu mampu dilihat, maka pola komunikasi kebijakan seharusnya bersifat menjelaskan bukan menyalahkan.
Persoalan hoax, disinformasi hingga mempertanyakan kemampuan rasional dalam nalar publik dengan argumen retorik sebatas, "publik belum membaca keseluruhan" jelas mengecewakan. Padahal terdapat ruang gelap akses informasi terkait draft yang dinyatakan telah diputuskan.
Pada gilirannya, kemarahan publik -anger akan berpotensi untuk berubah menjadi sebuah tindakan agresi secara fisik, bila prinsip pembentukan resolusi konflik seperti proses akomodasi dan negosiasi tidak dibuka.
Meski kemudian sarat dengan statemen ada penumpang gelap free rider dari kepentingan unjuk rasa menolak Omnibus Law, hal itu membutuhkan pembuktian legal lanjutan, tetapi keresahan publik secara riil mewujud secara nyata.
Resonansi Empati
Prinsip dasar yang sederhana dari sebuah komunikasi sebagai asal kata communicare yang bermakna membuat sama (make to common), mengandaikan terbentuknya persamaan serta kesepahaman.
Bila hal itu tidak terjadi, maka komunikasi yang bersifat satu arah dan sepihak akan gagal dalam menyampaikan pesan sesuai tujuannya.
Dasar dari teknis komunikasi efektif mencakup lima aspek utama yang dirangkum menjadi REACH model, dimana dapat terurai menjadi Respect -membangun sikap menghargai, Empathy -para pihak saling memahami, Audible -penyampaian pesan harus mampu dimengerti, Clarity -pesan yang akan disampaikan harus jelas tanpa ambigu, hingga Humble -penuh kerendahan hati. Hal ini sangat fundamental.
Bila demikian, dibanding harus mencari penjelasan tambahan yang bersifat parsial dengan menyebut publik ditunggangi, atau belum membaca penuh, hingga disebut termakan hoax, sebaiknya para pemangku kebijakan kembali pada prinsip-prinsip komunikasi efektif yang mendasar tersebut.
Publik bersepakat, timbulnya kekerasan, kerusuhan hingga anarkisme dari sebuah aksi unjuk rasa tentu tidak dapat ditoleransi. Namun hal tersebut, tidak menjadikan para pemangku kebijakan menjadi anti kritik dan kedap dalam mendengar aspirasi publik, termasuk yang disuarakan melalui berbagai elemen masyarakat sipil lainnya.