Belum efektif. Skema komunikasi publik yang dilakukan para pemangku kebijakan belum mampu mempersuasi publik.
Walhasil sebuah keputusan kebijakan justru dapat memantik konflik terbuka. Komunikasi efektif harus dapat menjangkau pemahaman publik, sekaligus memahami kondisi psikologis sosialnya.
Pilihan kebijakan dapat didekati melalui perspektif teks, yang harus mampu dikaitkan pada konteks situasi sosial yang melingkupinya.
Hal tersebut, menjelaskan keharusan agar terjadi relasi bersinambung antara teks kebijakan sebagai wacana yang dikembangkan secara kontekstual, berada tepat pada waktu dan situasinya.
Bila hal tersebut mampu dimengerti, maka proses komunikasi kebijakan publik akan dapat diterima dengan baik, menghindari resistensi dari gelombang persepsi negatif publik itu sendiri.
Sudah saatnya publik dilihat bukan lagi dalam deret angka kalkulasi, atau menjadi pelengkap statistika populasi, melainkan sebagai entitas sosial yang dinamis dan mempunyai daya kritis.
Publik hari-hari ini tidak lagi sebagaimana premis komunikasi one step flow aliran satu arah dengan kecenderungan dominasi. Publik memiliki kemampuan untuk melakukan interpretasi.
Model klasik komunikasi kebijakan dengan meminjam skema dalam bullet theory, bahwa khalayak tidak ubahnya bak target sasaran diam terhantam peluru yang dilepaskan para pemangku kekuasaan, jelas sudah tidak relevan lagi.
Peningkatan kemampuan publik dalam mencermati melalui penginderaan (sensing) hingga membangun persepsi kesimpulan (perception) adalah keniscayaan.
Meski ruang literasi publik masih remang-remang, tetapi publik juga mampu belajar dari berbagai kejadian serta pengalaman di masa lalu. Dengan begitu, kekacauan dalam aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law, harus dilihat melalui relasi antar realitas tersebut.
Para pengambil kebijakan harus mampu membaca situasi publik, termasuk pada aspek psikologi sosial yang sedang terjadi. Pandemi sebagai sebuah kondisi yang tengah berlangsung, menjadi faktor persoalan tambahan yang perlu diperhitungkan secara aktual.