Salah kaprah. Pernyataan yang keliru, menyebabkan beban berat stigma dalam mengatasi pandemi. Para pejabat negeri harus lebih bijak dalam menyampaikan pesan komunikasi. Isi pesan sebagai konten, harus ditempatkan pada konteks yang bersesuaian, dilengkapi dengan empati.
Protes dari berbagai kalangan profesional kesehatan, terkait statement Moeldoko -Kepala Staf Presiden yang menyebut perlu dilakukan pendefinisian ulang kematian akibat Covid-19 agar tidak ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari definisi tersebut, jelas berpotensi menimbulkan konflik horizontal.
Tenaga medis dan institusi kesehatan akan semakin berhadapan dengan stigma publik, terlebih mengecewakan karena hal itu dipicu oleh kegagalan komunikasi para pejabat. Perlu diingat oleh Moeldoko, sekurangnya 130 dokter telah gugur selama pandemi, bahkan dalam kasus terbaru tenaga kesehatan dilumuri kotoran manusia saat melaksanakan tugasnya.Â
Selain itu, Moeldoko dengan "ludah api -idu geni", menimbulkan polemik dan kegaduhan tambahan dalam fokus mengatasi Covid-19. Padahal, menghindari polemik serta kegaduhan, adalah amanat Jokowi pada evaluasi tujuh bulan dalam pandemi. Tidak pelak, tidak dapat menarik ludah kembali.Â
Dalam ilmu komunikasi dikenal sifat irreversibel, tidak dapat mengembalikan efek pesan yang telah disampaikan, karena itu kehati-hatian harus menjadi prinsip utama. Beban berat dari efek pernyataan Moeldoko yang kemudian disoroti Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia -ARSSI sebagai upaya untuk menggiring opini tertentu, atau sebagaimana dinyatakan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia -PERSI merupakan mis-informasi yang menimbulkan persepsi keliru.Â
Dibagian penghujung, kesalahan komunikasi Moeldoko mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik, serta menciptakan stigma. Bagian akhir ini didekati dengan kriteria serangkai, yakni stereotype -generalisasi, prasangka -penilaian negatif dan diskriminasi -tindakan perilaku sebagai pencetus konflik terbuka. Jangan sampai energi tersisa yang dimiliki justru habis untuk menciptakan mengatasi ruang konflik tersebut.
Pesan Kepemimpinan
Seperti yang disampaikan Doni Monardo, Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 sebelumnya, sekitar 17 persen dari total penduduk, atau sebanyak 45.9 juta jiwa yang tidak mempercayai virus dan berpersepsi tidak mungkin tertular. Hal ini jelas memprihatinkan, karena upaya literasi dan edukasi publik tidak berjalan utuh, lebih jauh lagi pernyataan para petinggi negeri memang perlu dikendalikan agar tidak menyebabkan permasalahan baru.
Sayangnya, Moeldoko luput mencermati konteks persoalan yang dihadapi. Persoalan yang muncul saat berdiskusi terkait penanganan Covid-19, sesungguhnya terletak pada aspek teknis yang bersifat fundamental, yakni kesiapan infrastruktur pemeriksaan. Kematian dengan menggunakan protokol Covid-19, kerap dilakukan sementara hasil laboratorium belum keluar, disebabkan waktu tunggu antrian pemeriksaan.
Logika yang dikonstruksi sebagai solusi persoalan seharusnya terletak pada penambahan perangkat peralatan pemeriksaan dan pengetesan -testing serta pelacakan -tracing. Bukan sebaliknya, mengubah definisi kematian tanpa memperbaiki proses pemeriksaan dasar yang menyebabkan munculnya celah persoalan - bottleneck. Apalagi kemudian justru menuding -blaming pihak lain, karena kegagalan memetakan peta permasalahan.
Covid-19 adalah jenis infeksi dengan seribu wajah, Dr Erlina Burhan yang menjadi narasumber medis terkait penanganan pandemi, mengungkapkan hal tersebut. Tidak ada gejala spesifik, bahkan bisa hadir dengan gejala-gejala umum yang tampak. Karena itu, pemeriksaan diperlukan sebagai sarana memastikan diagnosis.