Dunia dalam cengkraman pagebluk. Kini, pusat pertahanan terkuat kita adalah rumah. Pandemi seakan sedang memutar kembali waktu. Ruang fisik sosial kita menjadi terbatas dan dibatasi. Persoalan kesehatan menjadi arus utama.
Prinsip yang dikumandangkan filsuf Cicero, salus populi suprema lex esto -keselamatan publik adalah hukum tertinggi, seolah menjadi sebuah kalimat yang mencerminkan bagaimana prioritas kesehatan harus disusun sebagai hal terpenting, terutama berkaitan dengan eksistensi keberadaan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Kesadaran itu terjadi dan meningkat seiring dengan risiko yang dihadapi. Benar bahwa manusia kerap gagal membaca sejarah. Padahal berbagai kejadian terkait wabah sudah berulang kali terjadi, harusnya meningkatkan perangkat kewaspadaan. Kita sering abai bila ancaman tersebut tidak bersifat langsung.Â
Menariknya, isu-isu kesehatan sebagai tema esensial kerap terpinggirkan dalam gerak maju kehidupan bersama. Jauh sebelum pandemi, kita berhadapan dengan problematika sistem kesehatan nasional yang belum memadai. Hal tersebut, semakin terbuka dan terlihat dengan jelas di masa pandemi.
Tema besar majalah Tempo Edisi Kemerdekaan dengan mengangkat Jejak Dokter Legendaris, memperlihatkan bagaimana peran tenaga kesehatan ternyata menjadi bagian penting dari gerak kesejarahan hidup berbangsa. Bahkan hal itu terjadi di awal permulaan bangunan republik ini dimulai, sejak zaman pergerakan hingga kemerdekaan.Â
Tenaga kesehatan merupakan lapisan sosial dari para intelektual yang memperoleh kesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan modern di masa penjajahan. Peran dan keterlibatan mereka dalam perjuangan merumuskan format bangunan kebangsaan terbentuk.
Persis sebagaimana Karl Polanyi, filsuf Hongaria yang menempatkan tugas para ilmuwan seharusnya seperti para dokter dalam mencermati fenomena, lalu mencari kausalitas diagnosa, dan melakukan tindakan terapi. Demikian dalam makna riil, kenyataan yang dihadapi para tenaga kesehatan di era kolonial melihat realitas sosial penjajahan.
Pelik dan Panik
Di era pandemi, persoalannya menjadi pelik. Kepanikan publik dalam menyikapi penularan wabah, berhadapan dengan persoalan keterbatasan sistem kesehatan kita untuk merespon perubahan yang terjadi secara disruptif. Kemampuan untuk melakukan tindakan penanganan menjadi tertinggal dari kecepatan penularan virus.
Lebih jauh lagi, publik yang secara psikologis tertekan akibat pembatasan fisik di masa pandemi memunculkan sentimen negatif atas pelayanan kesehatan. Menciptakan konstruksi seolah pandemi menjadi upaya manipulasi, merupakan konspirasi dari kepentingan bisnis, lebih dari sekedar persoalan kesehatan semata. Terjadi distorsi arus informasi yang keliru.
Pada sisi lain, pemangku kebijakan seolah tidak mampu memberikan asupan yang cukup dalam membangun ruang literasi dan edukasi publik. Bahkan upaya untuk mempercepat proses recovery kehidupan sosial ekonomi menjadi tumpang tindih dengan keharusan untuk menyelesaikan persoalan utama pandemi pada penguatan sektor kesehatan.
Jika merujuk pidato Kenegaraan dan pembacaan RAPBN 2021 beserta nota keuangan, maka upaya untuk memunculkan persoalan kesehatan sebagai hal penting mulai diajukan.