Bahu membahu. Gotong royong. Pilihan kata itu indah ditulis, namun sulit dilakukan. Tidak semudah bersilat kata, maknanya mendalam. Butuh pengorbanan, untuk sampai pada tujuan bersama.
Pandemi hadir tanpa pernah disangka. Meski banyak kisah wabah di masa lalu, yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran. Kita tidak juga mampu untuk segera belajar dengan cepat.
Setelah sekian lamanya dikurung, dalam pemenjaraan fisik, melalui physical distancing, manusia memang sulit menghindar dari sifat alamiahnya untuk menjadi Homo socius.
Jika situasi kali ini, dianggap layaknya sebagai palagan perang. Maka dalam ruang pertarungan melawan jasad renik yang tidak kasat mata, konsep perang semesta menjadi solusi yang dapat diandalkan.
Wabah ini menjadi musuh bersama, yang harus segara dikalahkan. Model karantina dan isolasi, adalah siasat jangka pendek, untuk memperlambat penularan, menjadi upaya melandaikan kurva -flattening the curve.
Perang Bersama
Jika mengacu pada pilihan strategi perang semesta, maka skemanya mempergunakan kemampuan seluruh rakyat, ditambah mekanisme gerilya. Kenapa gerilya? karena logistik perang terbatas, harus efektif.
Durasi perang yang tidak pernah diketahui kapan akan berakhir, membuat kita menyadari bahwa perang ini akan berlangsung lama. Perlu nafas panjang, serta menjadi tugas kita bersama.
Dengan begitu, perang semesta sekurangnya dilakukan dalam dua ranah besar, yakni: (i) melaksanakan perang kecil yang dinamis, tertuju pada sasaran, dan (ii) butuh dukungan publik.
Pada perang fisik, hal ini mungkin sekali dijalankan. Kehendak bersama dan perasaan senasib sepenanggungan, memudahkan sikap kerja sama. Kini berbeda, musuhnya seolah nampak imajiner. Terdapat kesulitan baru, egoisme.
Meski tidak terlihat nyata, namun dampak wabah terbilang dahsyat. Konfirmasi penularan, hingga laju kematian menghadirkan situasi mencekam. Perang psikologis terjadi, sendi kepercayaan digoyahkan.