Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Imajinasi Kepemimpinan dalam Badai Pandemi

21 April 2020   16:24 Diperbarui: 21 April 2020   16:22 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membangun imajinasi. Pandemi memang membatasi gerak fisik dan aktivitas manusia, tapi tidak untuk kemampuan berpikir. Situasi di luar normalitas kali ini, akan mencapai titik keseimbangan baru. Kepemimpinan yang imajinatif dibutuhkan.

Kumpulan artikel di HBR.org, merumuskan hal tersebut. Para pakar bisnis dari Harvard, memberikan gambaran bahwa kemampuan untuk melewati masa sulit, membutuhkan dukungan kepemimpinan.

Corak paling mencolok dari pandemi, adalah kegelapan pengetahuan kita akan jenis wabah ini. Dalam kerangka disrupsi, sebagai sebuah gangguan kejutan layaknya pandemi, adalah keberadaan ketidakpastian -uncertainty.

Dalam badai ketidakpastian, maka kecemasan dan ketakutan adalah konsekuensi logis yang umumnya tercipta. Kepemimpinan dengan seluruh karakteristik yang dimilikinya, harus mampu menghadirkan narasi kuat akan harapan dan tantangan bersama.

Imajinasi adalah hal esensial yang diperlukan, untuk dapat merumuskan bagaimana seharusnya solusi tercipta pada situasi kali ini, sembari menjangkau harapan di masa depan. Tidak mudah, bukan tidak mungkin. Kompleksitas pengetahuan dibutuhkan.

Keterbatasan Waktu

Hal yang tidak ada di periode pandemi, adalah keleluasaan waktu dalam mengambil keputusan. Memastikan keputusan cepat dan tepat, sesuai dengan akurasi masalah adalah persoalan penting.

Dengan begitu, data dan informasi menjadi elemen penting, berpadu menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan secara multidisiplin. Tidak ada langkah tunggal yang bisa efektif menjawab persoalan.

Disamping itu, upaya mengejar hal-hal ideal mendekati kesempurnaan -perfectionism, justru akan menjadi faktor pemberat dalam memutuskan kebijakan -decision making, menyebabkan kelambanan.

Akurasi tidak dikerjakan dalam sekejap mata, melainkan dilakukan melalui penajaman secara berkelanjutan. Situasi pandemi bergerak secara dinamis, sehingga tidak ada keputusan yang statis.

Ilustrasi akan solusi monolitik dalam kesempurnaan -one suit for all, adalah hal yang nyaris mustahil. Dalam kedaruratan pandemi, kecepatan -speed dan kesederhanaan -simplicity dibutuhkan. Dirumuskan sebagai percepatan -acceleration.

Komunikasi Budaya Rendah

Dalam pendekatan komunikasi, maka situasi wabah mengharuskan model persuasi secara langsung dan terbuka, atau dikenal sebagai low context culture. Jenis komunikasi ini, tercirikan melalui bahasa yang ringkas, dan bersifat eksplisit pada pokok persoalan.

Asumsi pada pilihan komunikasi budaya rendah adalah lingkup kebutuhan komunikasi yang cepat dan disegerakan, selaras dengan kedaruratan. Tidak ada waktu berlama-lama untuk mencerna makna pesan.

Penggunaan simbol dan gesture, dibutuhkan sebagai pelengkap non verbal, yang bersifat menguatkan. Perlu diingat prinsip kesederhanaan, menghindari bias persepsi dan pemahaman. 

Bila semakin banyak simbol komunikasi yang dipergunakan, tujuan penyerapan pesan menjadi terjeda, sangat mungkin mengalami gangguan penyampaian. Fokus kita adalah nyawa manusia.

Komunikasi budaya rendah dalam kondisi pandemi, harus direproduksi melalui berbagai medium, yang akan sampai ke seluruh khalayak. Perantaraan teknologi dibutuhkan, untuk memperluas keterpaparan publik, mengantisipasi negatif feedback.

Jangkauan Kekuasaan

Pendekatan kekuasaan, yang dilengkapi dengan piranti keabsahan serta legalitas, termasuk aparatus represi dan ideologis untuk melakukan tindakan yang dipersetujui bersama, harus secara cepat serta sesegera mungkin diaktualisasikan. 

Para pemangku kekuasaan, dan mereka yang diberikan kewenangan tidak bisa bersikap pasif, semestinya menjadi responsif dan antisipatif, tidak lagi hanya sekedar melakukan uji coba dengan melakukan test the water, lalu mengamati riak gelombang.

Kepemimpinan imajinatif, mengandalkan kekuatan pengetahuan dalam situasi kedaruratan, karena publik membutuhkan kesegeraan tindakan guna memecahkan masalah, agar keluar dari situasi ketidakpastian pandemi.

Pandemi adalah ujian bersama, terutama bagi kepemimpinan yang harus tampil untuk dapat dipercaya, dan mampu membangun kepercayaan. 

Kita berharap, mereka yang menjadi pemimpin akan mampu membawa biduk kenegaraan ini, mengatasi terpaan badai, hingga sampai ke pulau harapan. Menikmati indahnya warna-warni pelangi sesudah hujan badai. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun