Kalang kabut. Tanpa persiapan. Pandemi terjadi, begitu cepat, menginfeksi populasi dan merenggut nyawa. Tenaga kesehatan dielu-elukan, menjadi garda terdepan, tidak luput menjadi korban.
Seluruh negara di dunia sedang berkutat dengan urusan masing-masing. China yang menjadi wilayah awal wabah mulai berangsur pulih, menawarkan bantuan. Bahkan Amerika pun, dibuat tidak berdaya.
Dalam kajian geopolitik, China membangun keseimbangan tatanan dunia yang baru. Poros kekuatan politik Amerika terkikis, dengan bantuan alat kesehatan ala diplomasi masker China.
Pada periode pandemi, kesehatan benar-benar menjadi kenikmatan yang berharga. Dokter dan perawat bak pahlawan di medan perang, menghadapi wabah tak kasat mata, jasad renik.
Kekalutan terjadi, karena tenaga kesehatan berperang secara compang-camping seadanya. Kekurangan peralatan pendukung. Tidak bisa disebut konsekuensi profesi, karena tanpa persiapan perangkat pelayanan, merupakan pengabaian.
Kita sampaikan rasa simpati pada seluruh korban, dari bencana non alam ini. Jumlah tenaga dokter dan perawat yang turut dalam daftar korban juga bertambah. Perang tidak cukup berbekal semangat.
Momentum Berbenah
Fenomena pandemi terjadi di seluruh dunia, dalam keseragaman sikap, yakni gugup dan gagap. Tidak siap serta tidak sigap. Negara-negara maju berjibaku dengan perangkat teknologi yang dimilikinya.
Jauh sebelum pandemi, sektor kesehatan lokal di tanah air, masih berpusat pada persoalan program kesehatan nasional, BPJS Kesehatan, yang terus menerus dirundung defisit.
Sektor kesehatan tidak pernah benar-benar menjadi fokus dalam kekuatan bangsa. Kesehatan disinggung dalam narasi kampanye, tetapi minim dalam realisasi, khususnya melalui bentuk dukungan politik anggaran.
Padahal jika merujuk sejarah kebangsaan, melalui kajian Hans Pols, Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia, 2018, maka peran tenaga kesehatan menjadi penting di permulaan rintisan nasionalisme Hindia Belanda.