Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wajah Dunia Setelah Pandemi

27 Maret 2020   12:37 Diperbarui: 27 Maret 2020   13:04 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tersenyum cerah. Lepas dari ketidakpastian. Pada banyak momentum, umat manusia menemukan kembali kebahagiaannya. Itulah gambaran yang dinanti selepas pandemi.

Terbebas dari ketakutan yang melingkupinya. Tetapi kita sesungguhnya berayun, dari satu ketakutan menuju pada bentuk ketakutan lainnya

Sebelum pandemi kali ini, penyakit dan wabah di masa lalu juga menjadi persoalan yang mengancam eksistensi kehidupan manusia. Dicatat dalam sejarah, deretan bencana alam dan berbagai perang.

Umat manusia, selalu mampu keluar dari situasi krisis. Kemampuannya bertahan, bahkan berjibaku terhadap wabah, telah mengalami berbagai ujian.

Lompatan kualitas terjadi melalui krisis yang dihadapi. Dinamika kehidupan manusia, menuntut dirinya untuk terus belajar dan memahami kapasitasnya.

Banyak makna yang tertinggal dibalik bencana. Ledakan hebat Krakatau 1883, menyemburkan debu vulkanik menutup awan. Menurunkan suhu bumi. Mencegah percepatan kenaikan air laut. 

Konsekuensi baik, datang sehabis kesulitan hebat. Persis layaknya pelangi indah setelah hujan. Wabah ini sesungguhnya menjadi medan ujian kemanusiaan.

Tertampar Sampar

Karya klasik Albert Camus berjudul La Peste diterjemahkan menjadi Sampar, 1947. Wabah sebagaimana sampar, dalam novel Camus, memperlihatkan wajah dan karakter asli manusia.

Ketakutan, kengerian akan kematian dan penyakit, hanya bisa ditangani dengan rasionalitas. Kemampuan untuk bertindak secara penuh kesadaran, memungkinkan kita menanganinya.

Lebih jauh, pada makna denotatif, La Peste sesungguhnya ekspresi Camus yang mencerminkan, situasi mencekam dalam konteks penjajahan Nazi atas Prancis di Perang Dunia ke-II.

Wabah itu simbol kebengisan manusia. Absurditas terjadi, manusia menimbulkan kesengsaraan bagi manusia lain. Perang dan penjajahan direfleksikan sebagaimana wabah.

Kini setelah menjadi masalah bersama, virus kecil berubah menjadi monster raksasa, bersifat pandemi global, akankah ada solidaritas bersama?. Kepentingan berkuasa, disitu letak absurditas kita.

Hal yang teramat penting, adalah mengalahkan ego sepihak, untuk melihat umat manusia di dunia sebagai satu kesatuan entitas. Demi dan atas nama kemanusiaan, bukan sekat bangsa dan negara.

Kompleksitas Manusia

Dalam dua kesempatan, Yuval Noah Harari penulis buku Sapiens dan Homo Deus, merilis tulisan terkait Corona, pada Times (15/3) dan Financial Times (20/3). Artikel tersebut menyiratkan beberapa hal penting.

Pertama: terdapat peran penting untuk berbagi informasi, dalam memahami kompleksitas virus yang dihadapi. Bangunan pengetahuan, sangat bergantung pada input informasi yang dikumpulkan. Hal ini tentu terkait pada kesaling percayaan untuk membangun solidaritas bersama.

Kedua: peran kepemimpinan global dibutuhkan dalam mengatasi masalah bersama. Problemnya hari ini, dunia seolah kembali kepada haluan populisme. Kemenangan para pemimpin di berbagai negara, membuat sentimen sempit, terbatas ruang wilayah.

Ketiga: perlu penguatan teknologi dan partisipasi publik, yang menjadi kunci dari upaya untuk mendapatkan pengetahuan secara menyeluruh. Selain upaya ilmu pengetahuan, jelas diperlukan adanya sikap sosial, yang dikembangkan secara bersama pula.

Menyoal apa yang disampaikan Harari, menjadi penting untuk kita melakukan perenungan. Manusia dengan segala kompleksitas egonya memang menghadirkan banyak persoalan. 

Kebinasaan umat manusia tidak akan terjadi karena wabah, tetapi justru ditelan oleh hawa nafsu dan egoismenya itu sendiri. Negara-negara superpower membutuhkan pengakuan untuk berlomba membuktikan diri masing-masing, sulit berkolaborasi.

Padahal jurus untuk selamat di situasi rumit, adalah berkolaborasi dan bergandeng tangan. Kita menunggu semua pihak untuk menurunkan tensi kepentingan masing-masing. 

Termasuk, pada pentas lokal. Saling dukung, saling bantu dan bergotong royong adalah manifestasi dari penjabaran pelaksanaan Pancasila. Sebab penghayatan dan pengamalan Pancasila, bukan terletak pada gembar-gembor slogan #sayapancasila.

Periode kebebasan itu, akan dimulai sesaat setelah umat manusia mampu bersatu padu, untuk urusan yang sama, tentang kemanusiaan itu sendiri. Dunia pun tersenyum kembali. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun