Justru sebaliknya, Viktor mendorong jauh ke depan. Melihat apa yang hendak dicapai di masa depan untuk mengubah apa yang terjadi hari ini dengan logoterapi. Alih-alih mencari penyebab di masa lalu, Viktor meloncat pada tujuan, disitulah makna hidup bermuara.
Lebih lanjut lagi, Viktor juga menyampaikan elegi pengetahuan manusia. Kemampuan dan kepintaran manusia menghantarkan penciptaan gas chamber, yang juga akan diisi manusia untuk menjemput maut.
Tidak hanya itu, konflik dan pertentangan, sebagaimana perang, menempatkan manusia hanya dalam deretan angka hitung, sebagai korban kekejian ego manusia itu sendiri. Bahkan identitas Viktor, hanya dikenali melalui deret 119.104 sebagai nomor tawanan.
Dalam kamp konsentrasi wajah manusia tampil dalam bentuk aslinya. Tanpa selubung topeng pembungkus, apalagi konstruksi citra. Pada ruang tawanan itu, kengerian bercampur solidaritas. Ada ilusi mimpi dan harapan, bahkan tawa.
Bagi Viktor, kengerian kehilangan esensinya ketika kita mampu mendeskripsikan secara detail. Dunia berputar. Di kamp konsentrasi, tentara dan para capo alias kaki tangan tentara adalah pihak yang mampu bersikap penuh kekerasan. Sejatinya, mereka pun diliputi ketakutan. Terlebih jika sewaktu-waktu kondisi berbalik.
Membangun Kemanusiaan
Hari-hari ini, periode suram dunia disebabkan virus Corona. Lockdown di beberapa kota dilakukan. Bahkan perjalanan ke tanah suci pun terpaksa ditangguhkan. Manusia menawan dirinya sendiri.
Di tengah kepanikan, serta informasi yang bias, aksi borong terjadi. Manusia melepaskan topengnya. Mendahulukan kepentingan ego. Menguatkan posisi keakuan, dibandingkan sebagai kita bersama.
Pada linimasa, tentara cyber yang bekerja untuk proksi kepentingan politik, masih sibuk bertikai. Pasar saham anjlok, nilai tukar tersungkur, stimulus dibuat. Tapi saling sembur caci maki, masih terus terjadi.
Momentum ini, seharusnya dapat dioptimalkan menjadi sebuah saat dimana persatuan dikumandangkan. Kesatuan menjadi kekuatan. Kita berhadapan bersama dengan ketakutan dunia.
Prinsipnya, mati satu mati semua. Karena itu, dengan menyingkirkan perbedaan, kita akan mampu meneruskan kehidupan. Persis sebagaimana Viktor sampaikan melalui bukunya, tentang pencarian makna.
Kita harus tiba pada pertanyaan dasar, mengapa kita bersama menjadi sebuah bangsa? Serta bagaimana kita memperkuatnya untuk bertahan di masa mendatang? Bukankah perasaan senasib dan sepenanggungan, adalah hakikat awal untuk merdeka.Â