Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Komunikasi dan Demokrasi di Warung Kopi

25 Februari 2020   11:42 Diperbarui: 25 Februari 2020   15:45 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: lakon hidup

Kegiatan ini, berdasarkan hasil temuan penulis mulai kembali terjadi paska Reformasi. Fase kebebasan dari cengkraman Orde Baru, membuat semua titik pertemuan publik, menjadi ruang diskusi. Warung kopi mendapatkan panggung kembali, sebagai ruang publik.

Pendekatan yang dipergunakan, memakai perspektif Habermas mengenai public sphere. Sebuah ruang imajiner, yang tidak melulu ruang spatial, namun mampu menciptakan proses komunikasi dialogis. Dimana terjadi interaksi setara antara semua pihak yang terlibat. Partisipasi dalam demokrasi, adalah esensi yang mewakili kehendak emansipasi.

Warung kopi, adalah jembatan ide, yang menghubungkan masyarakat -civil society dan negara -state. Sebuah teritori netral yang membiarkan entitas didalamnya, berinteraksi tanpa diskriminasi. 

Percakapan di warung kopi bisa tentang apa saja yang dirasakan publik. Life world dari populasi yang kerap menjadi tema pembicaraan secara bebas. Omong kosong pun bisa sangat bersemangat dibahas.

Sesungguhnya, apa yang dirujuk sebagai ruang publik ala Habermas, sebagaimana Ronda sebutkan tidak melulu menunjuk tempat sebagaimana taman-taman kota, tetapi juga bentuk yang mewakilinya, termasuk media massa, atau yang kekinian adalah sosial media.

Tetapi warung kopi adalah bentuk yang otentik. Tempat yang strategis dan produktif untuk membicarakan persoalan publik dan mencari solusi bersama. Warung kopi menjadi ruang produktif, hal ini nampak berbeda dari kafe modern yang banyak bertebaran di berbagai mall di perkotaan.

Sementara ruang kafe jaman now, lebih menunjukan kepentingan konsumtif, menjadi sarana komodifikasi penikmat kopi, untuk memperlihatkan status sosial tampil mengemuka. Meski begitu, masih terdapat celah untuk mengoptimalkan fungsi sosial ruang publik modern ini.

Pada sebuah warung kopi, hitam pekat kopi dalam kehangatan minuman tersebut, menghantarkan kebebasan untuk berpikir merdeka. Termasuk mencari berbagai cara baru, dalam melakukan pendekatan penyelesaian masalah publik. Kopi hitam pahit itu, seolah menjadi dari pelik, rumit dan getirnya persoalan yang dihadapi publik.

Opini dan Kesadaran Publik

Dalam pandangan Ronda, sesuai rujukan Habermas, ruang publik yang genuine memunculkan ragam pendapat. Dialog demokratis, terjadi ketika partisipan yang terlibat bersifat heterogen alias majemuk. 

Bila ruang publik justru homogen, maka yang terjadi sebaliknya, berupa monolog. Warung kopi tidak urung, kerap dijadikan sebagai sarana sosialisasi kebijakan kekuasaan, alih-alih menjadi kanal bagi aspirasi publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun