Persoalan Jakarta, menjadi satu isu di level mikro, dari sebuah survei yang digelar secara nasional. Pembahasan yang dilakukan, terkait dengan kinerja pemerintah daerah Ibukota Jakarta. Kata kuncinya terletak pada tantangan permasalahan, banjir dan macet. Survei ini menjadi menarik.
Dengan menggunakan sampel dari populasi nasional, untuk kasus di Ibukota, terlebih pada persoalan kinerja, hendak menunjukan: Pertama: Jakarta masih menjadi magnitude pada pentas politik nasional. Kedua: Ibukota yang akan segera menjadi mantan Ibukota ini, menjadi etalase dari perhatian publik secara meluas.
Padahal, publik seharusnya juga ikut dibawa, untuk menilai kinerja dari pemerintahan daerahnya masing-masing. Atau katakanlah mengukur kinerja pemerintahan daerah di berbagai kota besar, seperti Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar dll. Tapi kita fokuskan pada hasil survei Indo Barometer.
Didapatkan informasi bahwa (95.5%) publik mengetahui tentang banjir di Jakarta. Tentu tidak berlebihan, karena semua media massa nasional meliputnya. Seolah mengaburkan fakta bahwa banjir juga terjadi diberbagai daerah. Bahkan tanpa ekspose. Disamping itu, (61.4%) responden survei menyatakan Pemda DKI lebih bertanggung jawab dalam penyelesaian banjir.
Pengelolaan ruang di Jakarta, memang tumpang tindih. Kekuasaan daerah dan pusat memiliki andil. Dalam prosesnya, jelas memerlukan koordinasi dan komunikasi sinergis. Publik juga tergambar melalui survei meyakini persoalan banjir dapat diselesaikan (60.3%). Demikian pula dengan kemacetan, publik juga percaya kemacetan dapat diselesaikan (49.3%). Kepercayaan tersebut harus menjadi modalitas, untuk bisa bertindak lebih sigap dalam mengatasi banjir, meski tidak semua responden adalah warga Jakarta.
Melalui pola pemikiran berbeda, jika Jakarta dapat terbebas dari banjir dan macet, akankah Ibukota tetap berpindah lokasi? Pertanyaan berbeda, yang perlu dijawab lain kali. Tidak berhenti disitu, survei Indo Barometer juga melakukan komparasi, dari keberhasilan kepemimpinan Ibukota. Figur yang diperbandingkan, Anies selaku petahana, Jokowi yang saat ini menjadi Presiden, dan Ahok.
Hasilnya? Berdasarkan kriteria, kemampuan mengatasi banjir Ahok ada diperingkat teratas (42%). Demikian pula, untuk penyelesaian kemacetan Ahok dianggap mumpuni (35.3%). Sedangkan untuk persoalan pendidikan (35.1%), kesehatan (35.7%) dan ekonomi (33.8%), Jokowi adalah kampiun diberbagai kategori tersebut. Adapun Anies, terpuruk.
Penilaian yang dilakukan dengan menggunakan survei ini, seolah mencoba merumuskan "realitas masa kini dengan solusi masa lalu". Nampaknya ada yang belum selesai dengan politik Ibukota. Keterpilihan Anies memang masih menyisakan persoalan. Bahkan merebaknya politik identitas, yang diperkuat pada Pilpres 2019, adalah hasil politisasi dari perbedaan atas hasil Pilkada di Ibukota.
Mengapa begitu? Posisi survei yang memperbandingkan para tokoh politik, memang dikonstruksikan untuk membantu perlekatan citra sang tokoh. Terutama imej positif, yang tentu dibarengi dengan pernyataan persetujuan serta dukungan publik. Bagi Anies sebagai incumbent, hasil survei ini tentu mendeligitimasi dirinya.
Sekurangnya, secara positif posisi Anies jadi naik kelas. Karena yang menilai dirinya, adalah publik pada tingkat nasional. Bukan lagi berbicara lokalitas Ibukota. Karena itu pula, sesungguhnya momentum ini, dapat dijadikan sebagai motivasi perubahan. Perlu kerja sangat keras bagi Anies, untuk memperbaiki citranya. Karena semua sorot mata itu, berpusat di Jakarta.
Hal yang terpenting adalah bekerja untuk dapat menuntaskan agenda kepentingan publik. Bukan lagi tersandera bagi kepentingan politik. Atau hanya sekedar mengejar rating baik dalam sebuah survei. Sebab kekuatan terbesar dukungan politik sebagai sebuah dasar legitimasi kepemimpinan, adalah ketika hajat publik dapat direspresentasikan dalam setiap kebijakan yang diambil.