Polemik! Tidak hanya itu, tapi juga problematik. Bahkan baru sampai tingkat wacana sekalipun, persoalan WNI ex ISIS menimbulkan spekulasi serta pro-kontra. Keriuhan menutupi substansi diskusi.
Meski baru sebagai sebuah rencana, diskusi publik tentang upaya pemulangan ex ISIS ini, justru semakin membelah publik. Setelah sebelumnya, polarisasi terjadi dalam kancah politik domestik. Imbas dari politisasi identitas dan populisme, yang kini menjadi wajah realitas keseharian kita.
Isu terkait kepulangan ex ISIS, seolah menjadi medan pertarungan baru, dari berbagai kepentingan. Bahkan hanya untuk sekedar memberikan identifikasi, perdebatan terus terjadi. Ini WNI ex ISIS, atau ISIS ex WNI? Rumit bin ribet.Â
Bagi sebagian pihak, dukungan bagi pemulangan, khususnya wanita dan anak-anak, adalah bentuk perlindungan atas nama kemanusiaan. Tetapi dalam logika sebaliknya, justru dapat dimaknai sebagai bentuk persetujuan atas tindakan ISIS. Sebuah lompatan kesimpulan yang terlalu jauh.
Perlu kehati-hatian mendalam, guna memberikan respon pada persoalan ini. Pertanyaannya, sejauh mana ide ini telah dirumuskan oleh pengambil kebijakan? Apakah pilihan keputusan ini, diambil berdasarkan pencermatan masalah secara situasional? Ataukah telah terencana programatik?
Agar energinya tidak terlalu habis untuk membahas kesia-siaan, maka perlu melihat peta kasus dalam usulan ini secara jernih. Sehingga tidak menjadi blunder, melebar dari pokok persoalan. Karena terlihat potensi, untuk menjadikan permasalahan ini sebagai playing field baru, dari dikotomi politik sisa Pilpres. Padahal, persoalan ini adalah tanggung jawab bersama.
Terorisme Masalah Global
Problem ex ISIS sesungguhnya bukan hanya menjadi porsi masalah Indonesia saja, tetapi juga masalah dunia. Menyebut ISIS sebagai sebuah representasi tunggal dari terorisme, juga tidak sepenuhnya tepat. Terlebih, bila menunjuk ISIS mewakili ajaran Islam. Bahkan ISIS sekalipun, memerangi populasi muslim.
Merujuk pada Oliver Roy dalam Globalized Islam: The Search for New Ummah, 2004, wacana terorisme menguat pasca runtuhnya WTC 9/11. Serta merta, kemudian Islam dituding sebagai agama penuh kekerasan. Menurut Oliver, ajaran Islam berbeda dengan penafsiran serta penerjemahan bentuk secara sepihak, oleh kelompok yang bersepakat menggunakan cara-cara di luar ketentuan Islam.
Lebih jauh, terorisme kemudian menjadi masalah bersama dunia. Sorotannya terpercik bagi dunia Islam yang tercoreng, sebagai akibat penggunaan simbol-simbol Islam, oleh berbagai ulah kelompok yang menyempal dan keluar dari nilai ajaran Islam tersebut. Juga bagi seluruh dunia, yang dianggap oleh kelompok ini sebagai liyan yang berlawanan.
Jika menggunakan kajian Oliver, pendekatan globalisasi ala Barat sebagai sebuah perspektif, mengalami kegagalan di banyak kawasan. Upaya globalisasi yang dianggap sebagai sarana menghadirkan kemajuan dan modernisasi, justru sebaliknya menciptakan banyak ruang ketidakadilan.
Secara bersamaan, ajaran Islam pun menyebar sebagai ikutan dalam format globalisasi. Lantas, realitas ketidakadilan akibat globalisasi ala Barat itu, seolah menemukan bentuk pembebasan melalui tafsir keliru dari ajaran Islam yang sesungguhnya.Â