Fantastis! Program Menteri Nadiem membuat banyak pihak bergeleng kepala. Sebagian terpukau, selebihnya masih kebingungan, sedang sisanya mencibir.
Sama halnya seperti penunjukan figur Menteri Nadiem sebagai Mendikbud, mengilustrasikan sebuah pilihan yang out of the box. Berbagai gebrakan baru dikumandangkan sebagai program.
Berlatar belakang sebagai sosok sukses dibalik Gojek, Menteri Nadiem praktis tidak dominan mengenyam pendidikan dalam negeri. Riwayat akademiknya justru lebih banyak di luar negeri.
Tidak ada yang salah dengan hal itu. Kita tentu berharap kualitas pendidikan lokal berangsur membaik, bahkan bermimpi untuk setara, sama seperti pengalaman Menteri Nadiem ketika menghabiskan waktu belajarnya.
Dalam 100 hari, banyak keterkejutan. Khususnya konsep "kampus merdeka". Hal itu adalah gagasan yang menarik perhatian, sebuah terobosan dari kebekuan pendidikan tinggi. Menteri Nadiem dan tim Kemendikbud agaknya sudah mempertimbangkan berbagai aspek terkait.Â
Meski mas menteri tidak banyak pengalaman pendidikan lokal, tetapi supporting system di Kemendikbud sepertinya diisi para pakar pendidikan nasional. Sehingga, format kampus merdeka harusnya mampu diterjemahkan secara praktis dalam implementasi.
Pendidikan Tinggi Swasta
Problem yang kemudian terjadi di tingkat perguruan tinggi adalah tingkat partisipasi yang masih sekitar 30 persen. Situasi tersebut bermakna, hanya sedikit dari jumlah lulusan sekolah tingkat menengah atas yang melanjutkan proses pendidikan tinggi.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan besaran jumlah perguruan tinggi yang berkisar 4.000-an kampus. Komposisinya sekitar 80 persen, merupakan perguruan tinggi swasta. Lebih jauh lagi, sekurangnya sekitar 70 persen dari yang swasta itu, berkategori menengah-kecil.
Kondisi ini sangat terkait, dengan bentuk topografi negeri kepulauan. Sudah sejak periode sebelumnya, usulan untuk merampingkan jumlah perguruan tinggi diajukan, agar lebih tertata serta terkelola dengan lebih baik. Termasuk, menggunakan metode pendidikan berbasis teknologi jarak jauh, untuk menjangkau pelosok daerah.
Tetapi di situ letak ironi, ketika kapasitas pemerintah terbatas, dan inisiatif dari peran sektor swasta memasuki ruang-ruang yang tidak terjamah, tidak banyak stimulus insentif diberikan. Persoalan utamanya, perlu dirumuskan blueprint pendidikan tinggi nasional bila belum ada, atau kembali ditinjau ulang cetak biru pendidikan tinggi jika sudah tersedia.