Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dinasti Politik, dari Harry ke Gibran

12 Januari 2020   23:51 Diperbarui: 13 Januari 2020   06:00 7026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Britain's Queen Elizabeth, Prince Harry and Meghan, Duchess of Sussex pose for a group photo at the Queen's Young Leaders Awards Ceremony at Buckingham Palace in London (Tuesday, June 26, 2018). (Sumber: APnews/John Stillwell)

Indikasi permulaan jelas dengan mudah terlihat, seperti menjadi anggota kepartaian hanya beberapa saat menjelang kandidasi dan pemilihan. Tidak bermula melalui berbagai posisi dalam tubuh kepartaian, melainkan beroleh jalur khusus -fast track.

Mendapatkan berkah dari nama besar keluarga, adalah sebuah keunggulan bersaing, terkait dengan keterkenalan -popularitas, menuju keterpilihan -elektabilitas. Tetapi menjadikan hal tersebut sebagai satu-satunya kekuatan dalam kompetisi politik, jelas sebuah kesalahan.

Pengalaman dari fenomena berbagai kontestasi politik yang telah dilewati memperlihatkan bagaimana kader kutu loncat terbentuk, karena kekuatan personal branding. Di era pemasaran digital, inovasi konten dan penguatan citra dipergunakan, menghilangkan esensi kompetensi individu.

Semua individu tentu memiliki kemerdekaan, untuk dapat memilih dan dipilih, di alam demokrasi. Tetapi menjadi lebih penting secara etik, untuk memastikan kemampuan personal melalui rekam jejak, dalam bertanding untuk memperebutkan kursi kekuasaan.

Bila jabatan publik disandarkan sebagai ambisi individual, maka terdapat cacat tujuan. Ambisi itu bisa terlihat sebagaimana kasus teranyar KPK terkait KPU, pada persoalan pengganti anggota legislatif antar waktu. Ambisi itu bermotif pribadi, ketimbang bagi kepentingan publik.

Apa yang nampak kurang dari proses keterlibatan Gibran dan Bobby? Tentu terkait dengan potensi jual-beli pengaruh dari nama besar, yang saat ini masih ada dalam posisi berkuasa. Dan hal itu jelas mencederai demokrasi internal kepartaian, yang justru mendorong proses profesionalisme berpartai melalui jenjang kaderisasi.

Secara pragmatis, kompetensi dapat dikalahkan oleh persoalan isi tas dan nama belakang keluarga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun