Indikasi permulaan jelas dengan mudah terlihat, seperti menjadi anggota kepartaian hanya beberapa saat menjelang kandidasi dan pemilihan. Tidak bermula melalui berbagai posisi dalam tubuh kepartaian, melainkan beroleh jalur khusus -fast track.
Mendapatkan berkah dari nama besar keluarga, adalah sebuah keunggulan bersaing, terkait dengan keterkenalan -popularitas, menuju keterpilihan -elektabilitas. Tetapi menjadikan hal tersebut sebagai satu-satunya kekuatan dalam kompetisi politik, jelas sebuah kesalahan.
Pengalaman dari fenomena berbagai kontestasi politik yang telah dilewati memperlihatkan bagaimana kader kutu loncat terbentuk, karena kekuatan personal branding. Di era pemasaran digital, inovasi konten dan penguatan citra dipergunakan, menghilangkan esensi kompetensi individu.
Semua individu tentu memiliki kemerdekaan, untuk dapat memilih dan dipilih, di alam demokrasi. Tetapi menjadi lebih penting secara etik, untuk memastikan kemampuan personal melalui rekam jejak, dalam bertanding untuk memperebutkan kursi kekuasaan.
Bila jabatan publik disandarkan sebagai ambisi individual, maka terdapat cacat tujuan. Ambisi itu bisa terlihat sebagaimana kasus teranyar KPK terkait KPU, pada persoalan pengganti anggota legislatif antar waktu. Ambisi itu bermotif pribadi, ketimbang bagi kepentingan publik.
Apa yang nampak kurang dari proses keterlibatan Gibran dan Bobby? Tentu terkait dengan potensi jual-beli pengaruh dari nama besar, yang saat ini masih ada dalam posisi berkuasa. Dan hal itu jelas mencederai demokrasi internal kepartaian, yang justru mendorong proses profesionalisme berpartai melalui jenjang kaderisasi.
Secara pragmatis, kompetensi dapat dikalahkan oleh persoalan isi tas dan nama belakang keluarga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H