Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Komunikasi Meleset ala Kabinet Indonesia Maju

28 November 2019   23:22 Diperbarui: 29 November 2019   11:48 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam politik, tidak ada yang kebetulan. Bahkan sebuah peristiwa yang nampak natural dan tanpa kesengajaan sekalipun, patut dilihat dalam kerangka setting terencana. 

Rentetan diskursus yang dimunculkan melalui para menteri sebagai pembantu tugas dan kerja-kerja bagi presiden, tampak bertalian dan bersusul-susulan. Sayangnya, tones dan intensinya seragam. 

Problemnya, redaksi yang dipergunakan bukan dipergunakan untuk memfokuskan diri pada kerangka percepatan pembangunan. Apa yang hendak ditunjukan melalui wacana publik, justru seolah berbalik arah.

Narasi besarnya masih sama sejak awal didengungkan saat pembentukan kabinet, dengan tema sentral radikalisme. Pada titik utama itu, kemudian entitas kabinet, mendekatinya dengan berbagai model pendekatan.

Pembentukan SKB Menteri yang melibatkan 6 kementerian dan 5 kepala lembaga, semakin menegaskan hal tersebut. Tajuk pokoknya adalah "Penanganan Radikalisme dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan pada Aparatur Sipil Negara".

Sekali lagi, ketegasan pemerintah melalui penegasan ketetapan bersama tersebut, seolah menempatkan prioritas penanganan radikalisme menjadi solusi paripurna dari persoalan utama kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. 

Terlihat terdapat urgensi kedaruratan dari penanganan permasalahan ini, sehingga perlu diterka kemana akhir muaranya.

Buntut Panjang Kontestasi Politik
Pada pemaknaan yang lebih mendalam, pemerintah hendak mendorong proses stabilisasi. Tidak berhenti dengan merangkul lawan politik, termasuk membangun koalisi gemuk dalam berbagi konsesi kue kekuasaan. 

Sekaligus berupaya mendapatkan legitimasi, untuk membungkam suara berbeda. Indikator utamanya, terlihat dari belum serempaknya definisi radikalisme yang diformulasikan secara rigid. Semua berpendapat berbeda soal ukuran tersebut.

Bila kemudian aturan itu diimplementasikan, maka kategorisasi radikalisme bisa sangat bergantung pada pikiran subjektif kekuasaan. Dan untuk itu, kritik publik akan dengan mudah dianggap sebagai bentuk radikalisme terhadap kepentingan kekuasaan.

Kali ini batas wilayahnya dimulai dari lingkup aparatur sipil negara, bukan tidak mungkin diperluas ke seluruh penjuru kehidupan publik. Keragaman berpendapat menjadi terancam, menuju keseragaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun