Di berbagai negara otoriter, para pendengung memainkan peran. Perubahan lanskap percakapan digital, membuat ruang maya disesaki berbagai kepentingan, termasuk untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Hasil penelitian University of Oxford, sebagaimana yang tertuang dalam The Global Disinformation Order 2019, Global Inventory of Organised Social Media Manipulation menarik untuk dijadikan sebagai bahan rujukan.Â
Beberapa waktu terakhir, di ranah politik nasional, keberadaan buzzer alias pendengung diungkit. Terlebih dianggap sebagai residu atas proses kontestasi politik yang sedemikian ketat. Bahkan setelah beroleh kemenangan, kerja-kerjanya tidak juga berhenti, justru semakin mendapatkan ruang.
Perdebatan kembali mengemuka, dan lagi-lagi jagat digital sebagai ruang publik baru, menghadirkan fenomena sosial politik baru. Khususnya terkait peran para pendengung.Â
Sebagian diantaranya, melakukan serangan balik, bahkan menganggap kehadiran buzzer merupakan bentuk alternatif media dalam mengambil posisi sebagai pembentuk opini.
Hal itu, merupakan antitesis dari keberadaan media mainstream yang sejatinya juga memainkan peran sejenis. Lebih jauh lagi, fungsi edukasi media mainstream bisa sangat partisan. Mengambil pola serupa, buzzer mempergunakan konsep jejaring sosial di dunia maya, untuk melakukan caranya tersendiri melakukan penggalangan opini.
Problemnya, buzzer kerap gagap mengantisipasi isu. Pilihan narasi dalam isu yang diangkat seolah seragam dan tipikal. Terkesan membangun argumen pembelaan yang timpang. Pada kajian post truth, hal ini mampu dipahami karena fakta rasional tertutupi oleh aspek emosional.Â
Misinformasi dan Disinformasi
Dalam hasil penelitian Oxford tersebut, diketahui bahwa media sosial diantaranya Facebook dan Twitter kerap kali menjadi sarana bagi kepentingan kekuasaan untuk melakukan manipulasi informasi.
Tidak salah bila Oxford menggunakan disinformasi, karena kekeliruan informasi akan menghasilkan persepsi sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh penyebar informasi. Dalam tataran lanjutan, istilah disinformasi berasosiasi pada kabar bohong alias hoaks.
Pilihan kata disinformasi, menempatkan persoalan kesengajaan untuk menciptakan bias pemahaman. Skemanya bisa dengan menarasikan sebuah informasi yang kurang lengkap. Disinformasi yang merupakan tindakan sadar dengan sengaja kemudian ditangkap secara emosional dan dipercayai, menciptakan misinformasi.