Sementara itu, pada kasus KPK, penolakan atas usulan revisi UU KPK dianggap sebagai bagian dari kelompok radikal dan taliban, merujuk secara serampangan pada sebagian pegawai KPK dengan tampilan religius, sebut saja berjenggot dan celana cingkrang.Â
Logika yang fatal. Kita patut berterima kasih nilai religiusitas ada di pegawai KPK, karena dengan begitu mereka memahami bila gerak-geriknya selalu diawasi tidak hanya oleh peraturan tetapi sekaligus Sang Illahi.
Berbekal sikap religius, mereka diharapkan mampu berhadapan dengan para pencuri uang negara yang memiliki kemampuan beli sebagai daya tawar.
Membiarkan demokrasi tersandera oleh kerja buzzer yang meruntuhkan akal sehat, perlu dilakukan. Terlebih bila mereka bekerja untuk melindungi kekuasaan dari barisan pengkritiknya.Â
Demokrasi yang terbuka, bukan hanya menyediakan ruang bagi diskusi yang berbeda, tetapi juga pada keadilan perlakuan kekuasaan atas perspektif yang berlainan dari cara pandang penguasa. Memberangus kritik memang cara termudah untuk memuluskan jalan bagi roda kekuasaan.
Setidaknya dalam kasus asap dan KPK, ada hal yang menghilang, yakni perspektif korban.
Kita abai dengan banyak rakyat yang terpapar polusi asap serta menderita. Kita sibuk berdebat di wilayah politik. Kita juga lalai bila rakyat yang menanggung derita akibat korupsi, dan para pencoleng sedang mengintai menunggu waktu yang tepat untuk kembali merampok.Â
Sementara buzzer memberi ruang legitimasi, sekaligus membentuk pemahaman publik secara bias, bagi kepentingan yang tengah dilindunginya. Jadi bagaimana Anda bersikap?