Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kembalinya Kuasa Media Mainstream

12 Juni 2019   07:26 Diperbarui: 15 Juni 2019   00:52 1464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar oleh methodshop dari pixabay

Bila merunut hasil survei bahwa tingkat kepuasan publik pada kerja Jokowi diangka 70 persen, sementara hasil akhir rekapitulasi KPU suara dukungan bagi incumbent sekitar 56 persen, maka terdapat suara yang tidak memilih meski puas.

Salah satu faktor yang teridentifikasi adalah munculnya pengaruh dari kekuatan politik identitas, yang berjalan seiring dengan ketatnya kompetisi Pilkada DKI 2017. Benarkah demikian? Disinilah ambigu itu bermula.

Sikap perlawanan atas politik identitas, dilakukan dengan membangun pertahanan identitas. Pancasila menjadi narasi besarnya. Disamping itu pemilihan figur pendamping dari pasangan Jokowi menempatkan seorang Kiai dan Ulama menjadi sebuah simbol identitas yang tidak kalah kuatnya.  

Dengan begitu politik identitas dimainkan oleh semua pihak di Pilpres 2019. Narasi dan anti narasi soal politik identitas saling bersilangan, justru semakin meneguhkan identitas masing-masing kelompok. 

Setidaknya, bagi Jokowi politik identitas menghadirkan realitas baru dalam persaingan politik di 2019, (a) mempertahankan serta memperkuat basis suara di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sebagai dampak dari pemilihan Kiai Ma'ruf Amin menjadi pendamping, dan (b) semakin mengkonsolidasikan suara di Indonesia Tengah dan Timur.

Dengan begitu, peran politik identitas tidak dapat dipandang sebelah mata, bisa terbangun dalam aspek yang berbeda. Selama ini, kita menempatkan politik identitas sebagai biang persoalan atas ancaman persatuan. 

Pada kenyataannya semua aktor politik berlaku sama dan berstandar ganda. Kami dan kalian adalah identitas yang berbeda dalam keberagaman pada sebuah ekosistem politik. Hal itu, dipertegas dengan bagaimana media tradisional maupun sosial media mempergunakan sentimen atas isu tersebut.

Sekali lagi, Pilpres 2019 mencatatkan dua hal penting, (a) kehadiran politik identitas, dan (b) comeback-nya media mainstream sebagai sarana pengaruh bagi publik. Bagaimana dengan 2024? kita akan melihat dinamikanya diwaktu-waktu mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun