Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Postur Koalisi dan Format Kabinet, Menyongsong 2024

8 Juni 2019   09:14 Diperbarui: 8 Juni 2019   09:16 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Problemnya, bisa jadi ada perbedaan dari respon koalisi pemenang atas harapan newcomer tersebut. Bila ditimbang dari konstelasi Pemilu, dominasi kubu pendukung petahana sudah sekitar 60 persen, dan cukup signifikan untuk dapat memainkan peran legislasi, dalam mendukung kepentingan eksekutif.

Jika begitu, perlukah kekuatan koalisi baru? Bila prinsip yang dianut adalah konsep harmonisasi politik, maka membangun aliansi dengan banyak pihak adalah sebuah pilihan terbaik. Tetapi bagi kubu koalisi yang telah terbentuk, akan berpotensi menurunkan posisi tawar kepada pemimpin koalisi.

Terlebih bagi bila partai newcomer memiliki perolehan suara Pemilu lebih tinggi dari partai pendukung awal di dalam koalisi. Maka posisi PPP menjadi kurang beruntung, apalagi partai-partai pengusung yang tidak mampu memenuhi besaran kuota parliamentary threshold.

Pola koalisi yang baru, akan menjadi sarana barter kompensasi. Kursi kekuasaan pada tubuh kabinet mungkin menjadi tawaran menarik. Masalah yang timbul dan kompleks bagi pemerintahan periode kedua adalah warisan apa yang akan dipersiapkan sebagai jejak peninggalan bagi estafet penerus keberlanjutannya?

Model Kabinet

Kemungkinan skema keep the winning team dapat dilakukan pemerintahan terpilih. Tetapi apakah mungkin mempertahankan profesionalisme dengan akseptasi menteri non partai, bila terbentuk koalisi gemuk?

Padahal begitu banyak program dalam janji kampanye yang perlu dieksekusi. Kabinet adalah bentuk kelanjutan dari kompromi koalisi politik. Maka wajah kabinet adalah bentuk dari negosiasi yang ketat dari koalisi yang tercipta.

Bagi pemimpin koalisi dalam hal itu PDIP, dibutuhkan modal politik bagi 2024. Memberikan ruang bagi aktor politik diluar dari kader internal PDIP bisa jadi simalakama. Proses naturalisasi politik dapat dilakukan, tetapi belum tentu dapat menjadi pengikat kesetiaan, apalagi berharap pada kepatuhan ideologi. Belum lagi bila menghitung soal trah Soekarno.

Ranah politik berbicara tentang keberlanjutan kekuasaan, soal memperoleh dan mempertahankan dari waktu ke waktu. Terlebih lagi, ini telah menjadi waktu krusial pada periode kedua kekuasaan. Limit dari batas akhir untuk terpilih kembali. Dengan begitu akan dibangun pondasi untuk kontestasi 2024.

Porsi kursi dan plot departemen mulai disusun ibarat puzzle. Partai koalisi akan bicara tentang jasa pemenangan. Jika ada tambahan koalisi, mungkin penempatan dilakukan pada pos departemen yang minor. Bidang politik dan ekonomi akan terkonsentrasi di pusat koalisi.

Akan menjadi fenomenal jika tawaran koalisi baru ditampik, lalu berfokus pada pembagian kekuasaan di tingkat koalisi awal. Maka akan ada sosok yang akan diberikan posisi strategis, mengindikasikan proses berlanjut bagi estafet kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun