Titik kesetimbangan demokrasi, terjadi melalui proses dinamis yang berkelanjutan, sehingga terdapat aspek yang berlawanan sebagai warna di dalamnya.
Keberagaman adalah bentuk alamiah kehidupan sosial yang tidak dapat dihilangkan, dengan demikian, menjadi berbeda bukanlah sebuah pelanggaran.
Titik negosiasi kehidupan demokrasi kita, terjadi melalui konsensus, sebagai bentuk kesepakatan bersama. Tetapi juga perlu diingat, dalam sebuah kemapanan bentuk, sesungguhnya mencakup kontradiksi internal didalamnya.Â
Sehingga perselisihan, dapat dimaknai sebagai kekayaan pelengkap, dibanding menjadi faktor perusak.
Masih sulit menangkapnya? Begini, bayangkan sebuah negara yang memiliki publik dengan keseragaman pemikiran. Sudah? Lalu imajinasikan apa yang terjadi? Ada kesenyapan disana, tentu saja karena terjadi kebekuan pemikiran, terutama atas pandangan yang berbeda.Â
Faktor dinamisasi kehidupan tidak terjadi. Menjadi berbeda dalam perbedaan adalah rahmat kehidupan.
Prinsip dialektika terjadi, antagonisme membangun sebuah sintesis, tetapi tidak mematikan potensi tesis dan antitesis baru. Dengan demikian, terjadi perubahan kualitas menuju proses perbaikan demokrasi.Â
Bila demikian, upaya penyeragaman adalah bentuk pemaksaan atas realitas perbedaan.
Apa refleksinya bagi kita? Perlu disegarkan ulang memori bangsa tentang gagasan keseragaman pemikiran, bahwa ada kecenderungan yang otoritarian ketika pendapat diberangus untuk memenangkan opini kekuasaan.Â
Kita terbangun atas kesamaan cita-cita dan tujuan hidup bersama, bukan atas kesamaan cara berpikir dan berpendapat. Ruang demokrasi yang lebih lapang, akan terbentuk ketika ekspresi dalam keragaman pikir, gagasan ataupun ide diterima secara terbuka.
Jangan Bungkam Oposisi
Dengan demikian, maka oposisi sebagai format antagonistik dari kekuasaan perlu ditumbuh kembangkan. Membangun narasi yang berbeda secara oposisional.Â