Ditengah gelombang unjuk rasa ketidakpuasan, maka informasi tentang kabar kematian adalah hal yang menyisakan duka kemanusiaan. Kedua belah pihak, dalam kubu politik, tidak lagi menjadi rekan sepermainan, tetapi menjurus pada perseteruan.
Semua memiliki dalil argumentasinya, untuk sama-sama mengadu urat leher dan adu otot. Maka, situasi yang kali ini terjadi di Ibukota, adalah buah dari kompetisi politik sengit, sebagai konsekuensi atas polarisasi dikotomi, dalam dua kutub berlawanan.Â
Kita tentu berharap, semua pihak menahan diri dan menggunakan mekanisme konstitusional sebagai ruang legal yang tersedia. Termasuk meminta proses penyelidikan dan penegakan hukum yang berkeadilan, dalam melihat persoalan yang terjadi.
Selama ini, publik memandang curiga bila aparatur keamanan dan hukum berlaku berat sebelah, dengan tendensi kepentingan kekuasaan. Maka harus ada pembuktian independensi disana.Â
Situasi ini jelas menuntut evaluasi penuh atas sistem dan proses pemilu, termasuk pembenahan mekanisme politik dan kepartaian. Agar nyawa yang melayang menjadi tidak tersia-sia.
Merujuk Identitas
Berkaitan dengan kejadian kerusuhan yang terjadi pasa pemilu, dalam ekspresi unjuk rasa tersebut, maka sejatinya perlu ada telaah atas posisi dan aktor serta kelompok politik yang terlibat dalam kontestasi Pemilu 2019, untuk bisa memahami konstruksi bagunan politik kita hari-hari ini.
Salah satu yang kemudian mencuat adalah tentang politik identitas. Setelah membahas problem politik identitas, post truth dan sosial media, maka kini saatnya kita menyisir kembali kajian tentang bentuk dan alasan mendasar politik identitas. Bagi sebagian pengamat, politik identitas lahir sebagai bentuk kegagalan rasionalitas politik, dengan mengambil pilihan pada penguatan kelompok.
Tentu tidak salah, tetapi mungkin aspek politik sedemikian dinamis, sehingga upaya untuk melakukan definisi secara tunggal atas persoalan politik identitas, tidak bisa dikaitkan hanya pada persoalan kedewasaan berpolitik, sebagai bentuk kesadaran psikologis. Tetapi ada hal-hal lain yang juga perlu dilihat sebagai sebuah kemungkinan dalam mendekati pemaknaan politik identitas tersebut.
Peta konstestasi Pemilu menghasilkan konstelasi komposisi politik, yang terbaca melalui hasil yang telah selesai direkapitulasi. Dukungan bagi pasangan incumbent, disebuah sebagai pengelompokan kekuatan Islam abangan yang berbasis dipedesaan.Â
Sementara kubu oposisi, didukung oleh pemilih Islam santri, yang berada perkotaan. Dasar klasifikasinya mengacu pada Clifford Geertz, tentang pembagian masyarakat berdasarkan aspek religi di Jawa, sebagai pertemuan Santri, Priyayi & Abangan.