Di sini kemudian tafsir publik dikembangkan, pihak yang berbeda kemudian menyatakan sebagai eksklusivitas yang menjurus pada anti pluralisme. Bahkan sampai jatuh pada generalisasi yang dikenal sebagai stereotip, bukan tidak mungkin disertai pula dengan labelling sebagai stigma. Maka bagi partai Islam, narasi tentang radikalisme, terorisme dan fundamentalisme adalah seolah menjadi cap yang dilekatkan, bukan tanpa tujuan kecuali melemahkan.
Ketika kemudian kita memahami kebenaran hakiki adalah Sang Pencipta Kehidupan, maka perlekatan kepentingan dunia hanyalah ornamen hiasan semata. Sementara itu, doa adalah instrumen terkuat dalam bermohon kehendak Sang Khalik. Pun ditahun politik, doa tetaplah doa. Meski ditukar, direvisi, ataupun dibolak-balik bahkan dengan ancaman sekalipun, toh hak prerogatif-Nya ada ditangan Sang Maha Kuasa.
Doa kali ini berbobot politik, tentu bisa saja karena doa adalah medium sebagai sarana berkomunikasi hamba dan Sang Pencipta. Jadi jangan pernah putus berdoa, karena kita tidak pernah mengetahui dari doa mana yang Allah ridhoi dan kehendaki untuk diluluskan sebagai permintaan. Â
Jangan pula takut tidak beroleh berkah atas sebuah doa, karena sesungguhnya Allah maha mendengar atas permintaan hamba-Nya. Maka panjatkan doa masing-masing, karena Allah maha mengetahui doa yang terbaik untuk dikabulkan Nya sebagai sebuah permintaan. Terlebih soal kriteria ancaman, toh hanya Allah yang maha menentukan, kita hanya mampu berusaha dalam porsi, dan kacamata yang kita miliki.
Mari kita khusyuk di dalam doa kita, semoga Allah yang maha pemurah dan pemberi kasih sayang, memberi kebaikan bagi negeri dan kepemimpinan di masa depan yang lebih baik lagi. AamiinÂ
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H