Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengadili Perasaan melalui Angka

15 Februari 2019   02:47 Diperbarui: 15 Februari 2019   03:02 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Terlebih era abad disrupsi tidak memberikan ruang kepastian masa depan, diprediksi akan penuh guncangan, dan dalam keremangan tersebut, keresahan adalah elemen terkuat dari insting untuk dapat tetap bertahan, ketimbang berpuas diri atas sejumput data yang belum tentu hasil olahnya membawa kemaslahatan.

Mari kita urai, potensi kesalahan logika dari artikel tersebut;

Data Milik siapa?

Kita perlu lebih tajam melihat data, siapa yang merumuskannya dan untuk kepentingan apa? Kuasa dalam mengumpulkan angka-angka statistik dapat menjadi kekuatan, tetapi berhadapan dengan kekacauan. Importase pangan, adalah kebijakan yang lahir dari kekalutan data, bahkan di antara para penguasa. Sinkronisasi data antar bagian tidak terjadi, maka kita bisa memunculkan pendapat bahwa ada pemufakatan kuasa dalam bermain data.

Big data membutuhkan big resource, dan kemampuan terbesar hari ini untuk mengumpulkan data melalui instrumen jejaring nasional, tentu saja pemerintah. Data itu kemudian dipergunakan, untuk menegasikan fakta keresahan. 

Survei hanya mengukur dan menggambarkan, namun tidak berupaya memahami. Bias survei, dalam pendekatan kritis reflektif adalah menjadikan manusia sebagai responden, pelengkap dugaan, ter-reifikasi menjadi urutan angka semata, tanpa mampu menjelaskan suasana hati.

Perdebatan Klasik Objektivitas
Jika kemudian apa yang dimaknai sebagai data objektif adalah semata-mata soal angka, maka kehidupan berjalan diantara keseimbangannya antara apa yang terukur dan tidak terukur. Maka objektivitas dapat dibentuk melalui kumpulan subjektivitas. 

Pada makna filosofis, objektivitas tersandera oleh ukurannya. Pythagoras menyatakan mathesis universalis, maka apa yang tidak terukur tidaklah nyata sebagai sebuah eksistensi, karena keberadaan mensyaratkan dimensi ukuran. Lalu dimana emosi dan perasaan ditempatkan?.

Paparan subjektivitas, menempatkan realitas secara tersebar--omnipresent. Tidak ada klaim atas kebenaran tunggal. Fakta sebagai sebuah kenyataan, yang dimaknai sebagai realitas substansial itu terdispersi dalam berbagai bentuk kehidupan yang kita rasakan sehari-hari. Dengan demikian, kita tidak bisa mengasosiasikan bentuk perasaan sebagai narasi yang fiktif. Bahwa ada fiksi didalam sebuah perasaan merupakan proyeksi atas imajinasi masa kini untuk masa depan. Jadi tidak ada yang salah dari perasaan.

Gagal Merasakan
Di bagian akhir, perasaan adalah bentuk common sense merupakan cara kita untuk membangun rasa, menggugah rasio nalar, menciptakan kehendak untuk berpikir. Angka-angka memiliki daya hegemonik membungkam perasaan. 

Kemampuan tertinggi dari sebuah perasaan adalah meluluhkan kerumitan formulasi angka, menjadi sebuah kesederhanaan. Dalam istilah ilmiah kita mengenal prinsip parsimony, karena bahagian tersulit dari suatu sistematika, adalah membangun penyederhanaan.

Kita harus menempatkan kerangka kegelisahan dan keresahan publik dalam konteks hirarki kebutuhan Maslow, dimana hal yang paling mendasar adalah pemenuhan aspek fisik secara fisiologis, sebelum beranjak ke urutan tangga selanjutnya, hingga pada fase puncak aktualisasi diri. Maka kekhawatiran akan ketidakmampuan mengelola pemenuhan akan hal mendasar sebagaimana diagram Maslow, menjadi sebuah normalitas serta kewajaran dari perasaan umum.

Sebagai penutup, maka perasaan menderita adalah spirit dari upaya merdeka. Bila tiada perasaan tersebut, maka sesungguhnya kita masih terjebak dalam logika perangkap kolonial, karena angka-angka di-sitir untuk kepentingan kekuasaan. Kegagalan terbesarnya adalah ketika kita kehilangan kemampuan untuk merasakan, lantas simpati sekaligus empat kemanusiaan kita hilang lenyap!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun