Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cyberspace, Demokrasi dan Megatrends

6 Februari 2019   13:29 Diperbarui: 6 Februari 2019   13:33 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Realitas kehidupan kita kali ini ada didalam ruang semu! Internet mengubah segalanya. Alat bantu kemudahan manusia itu, telah merubah budaya kehidupan manusia itu sendiri. 

Dialektik, ada keterhubungan yang bersifat dinamis. Tidak terbantahkan. Bahkan kita kemudian seolah menjadi tidak berdaya dihadapan teknologi yang kita ciptakan sendiri. Riuh dan hiruk pikuk dunia kita.

Sejatinya, internet dengan segala kelebihannya sebagai instrument teknologi menghadirkan bentuk baru komunikasi antar individu dan masyarakat, sifatnya instant dengan interaktivitas secara realtime. 

Situasi yang sedemikian, membuat wilayah dunia maya dengan berjejaring, serta tercirikan melalui, relasi sosial yang horizontal. Hasilnya, siapa saja bisa urun bicara, dan berbicara apa saja.

Dunia kini seolah menjadi datar, karena komunikasi secara setara itu mempersempit waktu, ruang dan jarak. Pada kajian ilmu politik, dimana partisipasi diharuskan menjadi syarat bagi terciptanya emansipasi, sesungguhnya membuat keberadaan internet menciptakan terbentuk ruang demokratis, dikenal sebagai Cyberspace. 

Teritori dunia maya, menciptakan ruang "bernafas" publik, yang tidak bisa dilakukan secara langsung di dunia fisik, karena ada tata-krama disana.

Wilayah steril, yang memungkinkan terjadinya interaksi dialogis publik, merubah wajah citizen -warga negara, menjadi netizen -komunitas online, tanpa representasi riil. 

Situasinya menghadirkan telepresence -nirkehadiran bahkan dalam ruang yang terpisah serta berbeda, celah blindspot terdapat dipersoalan identitas. 

Sirnanya identitas asli individu, kemudian melesap ke rimba raya internet dengan berbagai avatar, disinilah potensi kehidupan di dunia maya menjadi kerap tidak dapat dipertanggungjawabkan.  

Ironi Disrupsi

Abad ini, sebagaimana buku Mastering Megatrends, (Doris & John Naisbitt, 2004) yang terangkum dalam 286 halaman, menjelaskan bagaimana proses digitalisasi dan globalisasi membuka babak baru dari relasi internasional. 

Bahkan, keberadaan internet mampu mengubah kesetimbangan dunia, ketika penguasa lama yakni Amerika, kemudian seolah gagap dengan perubahan, ketika Cina menjadi negara superpower baru dengan kekuatan produksi dan ekonomi yang dimilikinya.

Situasi tersebut, dinyatakan Naisbitt sebagai pola megatrends, yang merupakan kecenderungan dari perwakilan peradaban. Disrupsi terjadi, terlihat dalam dua aspek, yakni; (a) perubahan cepat dan mendasar, serta (b) tidak dapat bersifat berbalik. 

Kita kemudian melihat diranah ekonomi dan bisnis, berbagai perusahaan bertumbangan, karena gerak laju perubahan teknologi, yang kemudian merubah landscape dari seluruh relasi kehidupan kita menjadi platform digital.

Titik sentral dunia, melalu kajian megatrends, sebagaimana Naisbitt nyatakan, saat ini tidak lagi terpusat di Amerika, melainkan menjadi multisentris, bahkan bergeser ke Asia dengan kemajuan Cina dan terdapat potensi pergerakan menuju Afrika dikemudian hari. 

Pada kajian ekonomi dunia, beberapa pusat kekuatan baru dinyatakan sebagai BRIC -Brazil, Rusia, India dan Cina. Pada konteks tatanan tersebut, kemudian seakan mendeligitimasi Eropa dan Amerika sebagai pemenang perang dunia.

Kompleksitasnya kemudian terjadi, disruspi teknologi kemudian mendekonstruksi ruang kehidupan kita. Mengaburkan aspek privat dan publik, internet menghilangkan sekat tersebut. 

Maka kemudian, teknologi ini memiliki sifat yang kontradiktif didalam dirinya. Dapat menjadi sarana untuk mempersatukan, tetapi bukan tidak mungkin justru jatuh dipergunakan untuk melakukan upaya pecah belah, lantas demokrasi diruang digital menjadi disesaki dengan berbagainoise -kebisingan, bukan voice sebagaimana aspirasi publik sesungguhnya.

Pada titik tersebut ironi terjadi. Jagad online, kemudian menjadi seolah hype -sensasi gejolak populer yang bersifat sementara, tidak lagi menjadi hope -harapan atas kemungkinan demokratisasi terjadi secara meluas. Fungsi edukasi publik, serta membangun kecerdasan untuk membaca informasi, menjadi ter-dilusidalam aktifitas konsumsi berita palsu dan kebohongan alias hoaks. 

Tidak ada yang berbeda kemudian dunia nyata dan dunia maya, karena keduanya telah menjadi lapangan tempur kekuasaan untuk saling mempengaruhi, yang secara pragmatis bertujuan perebutan legitimasi.

Jadi bagaimana cyberspace, dapat ditempatkan sebagai penanda spatial bagi penguatan demokrasi, dalam gelombangmegatrends? Setidaknya, Naisbitt menempatkan formula prinsip yang penting, diantaranya, (a) validasi, keharusan untuk melakukan konfirmasi, (b) dinamis dalam situasi yang penuh turbulensi, lakukan adaptasi berkelanjutan, (c) perkuat basis substansi bukan sekedar ego, dan terakhir (d) berpegang pada kebenaran dan bukan kepada siapa yang benar. Keseluruhan format Naisbitt itu, dapat disimplifikasi menjadi;"memastikan alam berepikir kita merdeka, dengan mengedepankan rasionalitas!".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun