MENEGANGKAN! Aura debat Capres dihadapan publik, seolah menjadi titik sorot seluruh bangsa ini. Sebagai manusia biasa, kehadiran didepan panggung besar, dengan puluhan kamera dan ratusan penonton langsung, termasuk jutaan pemirsa dilayar kaca masing-masing jelas membawa tensi tersendiri. Jadi bila sekedar menghapalkan kisi-kisi, maka kegugupan bisa melunturkan apa yang telah diupayakan untuk diingat. Otentik dan orisinalitas, adalah citra yang akan ditampilkan secara utuh.
Pascadebat, publik akan membangun persepsinya, kumpulan pendukung akan saling berdiskusi baik dalam kelompok sependapat ataupun yang berbeda. Maka kemudian opini publik akan mmulai terbentuk, kita perlu lihat hasilnya kemudian. Bersamaan dengan itu, survei sebagai alat ukur hasil debat akan bekerja untuk mengkonfirmasi hasil tersebut. Pada ujungnya, akan dilihat aspek keterkaitan antara perdebatan di muka publik, dengan tingkat elektabilitas.
Perlu pemahaman tersendiri, bahwa debat dalam mekanisme perdebatan yang difasilitasi oleh institusi penyelenggara KPU, memberi ruang tafsir publik secara bebas. Tidak ada urusan benar-salah, semua pihak yang bertanding untuk kekuasaan akan memperlihatkan kapasitas pemikirannya masing-masing, mengajukan pendapat, mempertahankan argument, serta sekaligus menyusun logika kritis dalam menelaah paparan kontestan lain. Bila itu terjadi, maka publik dapat tercerahkan.
Pasca Debat dalam Survei
Dengan demikian, pertanyaan selanjutnya, apakah perdebatan tesebut akan menghasilkan perubahan pilihan publik? Tentunya tidak linier bagi kelompok pemilih tradisional, yang telah menjadi basis fanatik pendukung pasangan calon, tetapi rasionalitas perdebatan akan menjadi sarana ampuh dalam merebut simpati dari pemilih yang belum menentukan sikap -undecided voter. Mereka yang masih mungkin berayun diantara pilihan politik tersedia, akan mencermati langsung, atau setidaknya melihat kesimpulan pembahasan diberbagai kanal media yang dikonsumsinya.
Lantas apa kepentingan dalam korelasi debat dan survei? Jelas bahwa performa dalam debat nantinya akan menjadi ukuran yang dikalkulasi melali metode statistic survei. Apakah kemudian survei mampu memberikan gambaran representative atas hasil sesungguhnya? Bisa iya, tetapi juga bisa tidak. Hal itu dapat terjadi karena kecacatan dalam penarikan sampel yang dijadikan sebagai satuan unit hitung dalam survei, menurut kaidah statistika dikenal sebagaimargin of error.
Bisa juga terjadi kesalahan karena bias kepentingan survei. Institusi pelaksana survei, harus secara terbuka memberikan gambaran atas beberapa hal, diantaranya (a) tujuan dari pelaksanaan survei, (b) metode statistik yang dipergunakan, yang paling signifikan adalah (c) mengungkap sumber finansial dari pembiayaan survei. Hal tersebut untuk mereduksi potensi manipulasi data dan hasil atas interpretasi yang dibuat sesuai dengan keinginan pihak tertentu.
Pada kerangka ilmiah, maka survei menjadi bagian dari kerangka metode ilmiah yang rasional, serta dapat dipertanggungjawabkan teknis sekaligus hasil yang diperoleh. Tetapi tentu saja, survei punya tingkat kerawanan untuk tendensi kepentingan tertentu. Kita mengenal, beberapa teknik statistik untuk mendeskripsikan sebuah realitas dan mengkonstruksi opini publik, diantaranya, (a)polling -terbuka, pendek dan validitas rendah, (b) survei -tertentu, jangka waktu menengah dan validitas serta biaya lebih tinggi, (c) quick count -pengambilan statistik post election,menggunakan sampling seketika setelah rekap perhitungan suara dan validitas tinggi, ditingkat yang paripurna (d) sensus  -pengambilan data seluruh populasi, waktu lama dan biaya besar, validitas sangat tinggi.
Survei bagi Elektabilitas
Lalu bagaimana survei menafsirkan elektabilitas, keterpilihan calon? Tentu sangat bergantung dari model pertanyaan yang dibuat. Disini para pelaku survei kerap membuat pertanyaan yang bertendensi pada suatu jawaban tertentu, baik dalam bentuk pertanyaan tertutup dengan opsi pilihan jawaban, maupun model pertanyaan terbuka yang memberikan ruang narasi berpendapat, bagi para responden yang sedang diamati perilakunya sebagai input data.
Dimana dalam konteks perilaku politik calon pemilih, maka levelisasinya terdiri dari (a)kognisi -memiliki pengetahuan, berkaitan dengan popularitas kandidat, (b) afeksi -berkenaan dengan aspek emosional, berkorelasi dengan akseptabilitas kontestan, hingga (c) konatif -berhubungan dengan tindakan fisik langsung, hal ini yang diprediksi menjadi nilai elektabilitas.
Jadi dengan kemampuan merubah persepsi dan pendapat publik, khususnya bagi pemilih rasional yang belum menentukan pilihan dan masih mungkin berubah, tentu format debat kali ini akan menjadi krusial, dan untuk itu kandidat tidak bisa menganggap enteng. Sementara, bagi pemilih tradisional dalam diksi lain emosional, maka apapun hasil debat tidak akan mengubah sikap dan perilaku terhadap kepastian pilihan sebagai sikap politik.