Fantastis! Fenomena Nurhadi-Aldo seolah menjadi sebuah oase politik yang menarik di jagad media sosial saat ini. Keriuhan periode kampanye politik nasional, menghadirkan ketegangan psikologis yang seolah terbelah, dengan posisi politik secara berhadapan antara masing-masing kubu kandidat.
Kehadiran figur nyeleneh alternatif Nurhadi, seolah memecah kebuntuan, menghadirkan kerenyahan suasana, sekaligus merecehkan politik formal yang tampak kaku. Koalisi imajinasi tronjal-tronjol, serta berbagai jargon dalam slogan kampanye yang nampak erotik, merepresentasikan perspektif bahwa hal tabu dan vulgar itu merupakan keseharian kehidupan.Â
Semestinya memang politik berbicara tentang hidup sehari-hari publik dibandingkan dengan berbagai pilihan diksi abstrak, serta jauh dari realitas.
Kandidat yang diusung warga dunia maya, sebagai capres nomor urut 10 ini, memiliki banyak pengikut. Fanbase yang berkumpul sebagai pengusung Nurhadi, secara semiotik dimaknai sebagai bentuk kejenuhan atas politik dalam aras formal.Â
Politik diterjemahkan publik tidak lebih sekedar perebutan kekuasaan diantara segelintir elit, jauh panggang dari kepentingan publik itu sendiri.
Pasangan calon tandingan ini menawarkan satire politik, memberi sindiran bagi aktor dan partai politik, dengan menyodorkan ilustrasi bahwa dunia politik kita telah kehilangan etika, sehingga terjadi kekaburan batas antara tujuan mulia dengan logika pragmatis mencari kursi kuasa.Â
Hal ini sekaligus mampu menerangkan bila para pelaku politik secara tidak terhindarkan terjebak dalam rangkaian peristiwa aksi-reaksi dan saling berbalas pada level permukaan bukan mencari jawaban substansial persoalan publik.
Jika dunia politik sudah sedemikian keruh, maka pasangan Nurhadi-Aldo tidak hadir di ruang kosong, tidak pula dapat dipandang sebagai lelucon biasa, meski membawa sense of humor dalam penampilannya, tetapi hal ini menegaskan ironi yang terjadi, ketika para elit yang membawa pengatasnamaan publik seringkali tidak mendengarkan aspirasi publik.
Pesan Efektif
Kita seolah dibawa kembali ke era Klasik Socrates tentang tujuan dari hakikat kehidupan, yakni Eudaimonia alias beroleh kebahagiaan, dan politik seharusnya menjadi sarana bagi pencapaian hal tersebut bukan sebaliknya.Â
Pada tahap yang fundamental, pemenuhan kebahagiaan menjadi dasar bagi pembentukan Polis yakni kehidupan bernegara. Dengan demikian, kita telah kehilangan simbol hidup dalam negara yang seharusnya menjamin terciptanya kebahagiaan bersama bagi seluruh publik.