Mahal! Politik itu berat diongkos, terutama ketika perhelatan politik sebagaimana yang terjadi sekarang. Meski tampak tidak terlihat, proses kontestasi untuk kursi legislative diberbagai tingkat mulai dari level daerah hingga nasional terjadi. Hiruk pikuk hajat politik yang digelar secara bersamaan kali ini, memang seolah tertutupi oleh ajang Pilpres, sebagai pusat perhatian publik.
Pembiayaan kegiatan politik, khususnya terkait dengan proses pemilihan terjadi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam aktifitas kampanye politik domestik.
Jelas bahwa kunjungan seorang kandidat kesuatu lokasi basis pemilihan membutuhkan biaya, tetapi disitulah letak esensi keterwakilan yang representative, bukan hanya persoalan yang tampak terbaca dari angka-angka statistik, tetapi wujud dari aspirasi langsung melalui interaksi fisik
Pertanyaannya, mengapa kemudian politik kita bisa dikategorikan sebagai "high cost politics"? Tentu saja terkait dengan model kampanye yang dilakukan.
Apa maknanya? Konsepsi gagasan dan interaksi fisik secara langsung, tampak menjadi prioritas sekunder dibandingkan dengan penempatan alat peraga kampanye, semisal spanduk, poster dan baliho. Dalam kaidah estetik, alat peraga sedemikian, justru mendapatkan pengistilahan negative, sebagai "sampah visual" yang memenuhi ruang publik.
Lantas, dimana letak muara permasalahan ongkos politik ini? Kita dapat telusur kebiasaan ini dari bentuk uang pamrih kepada calon pemilih, yang sering disebut sebagai "politik uang" untuk membeli kepastian dukungan.
Meski hal tersebut telah menjadi sebuah kondisi yang nampak"tertinggal" di era sosial media, tetapi praktik ini tetap dilangsungkan oleh kandidat untuk mendapatkan komitmen suara secara riil. Mengapa begitu? Faktornya terletak diperangkat berpikir para kandidat itu sendiri.
Rasionalisasinya dapat dipahami, dalam logika (a) politik uang adalah hal yang nampak lazim, karena telah berlangsung lama, (b) bila prinsip politik uang dihilangkan dalam konteks kampanye, maka seolah tidak ada jaminan untuk mendapatkan suara dukungan, dan akhirnya (c) jika kandidat tidak menjalankan hal tersebut, maka ada kandidat lain yang akan melakukannya, dan situasi ini dinilai sebagai indikasi kekalahan. Kita lalu terjebak dalam rantai tidak berkesudahan, politik transaksional.
Politik Berlogika Ekonomi
Biaya kampanye yang semakin membengkak, juga diakibatkan dari keinginan alias syahwat, untuk mempergunakan berbagai kanal media dalam mempromosikan figure individual.
Maka kemudian, ongkos politik pun bertambah. Terlebih, kita juga terjatuh pada upaya mengerek popularitas secara instan, dimana fase kaderisasi partai tidak lagi menjadi standar dalam kerangka memajukan seorang calon, tetapi lebih disebabkan oleh kemampuan untuk mempersiapkan logistik kampanye.