Cuitan politikus itu kini berbuah pahit, dianggap menciptakan hoaks, berpotensi mengacaukan sistem pemilihan. Secara bersamaan, sebagian pihak kemudian membuat formulasi ala konspirasi, bahwa terdapat agenda terstruktur dalam kerangka penyebarluasan informasi terkait surat suara yang "tercoblos", sebagai indikasi sebuah tindakan disengaja dan sistematik. Bahkanframe dalam konsep tersebut, mencoba menarik relasi antara cuitan sang politikus, pada kemungkinan agenda makar.
Kita akan melihat tafsir makna dari peristiwa tersebut, khususnya sangat berkenaan dengan kehadiran sepotong informasi yang kini terhampar dalam keberlimpahan dunia digital. Sementara itu, terkait dengan aspek legal formal atas kaitan hukum yang menyertai kejadian tersebut, tentu sepenuhnya diserahkan seluruh prosesnya kepada pihak berwenang. Hoaks alias berita bohong, dapat bermakna sebagai informasi palsu yang direkayasa, tanpa ada fakta penyerta kemudian mewujud menjadi bentuk realitas semu dari data yang dikomunikasikan.
Tetapi soal definisi, tentu bisa jamak dan tidak bersifat tunggal. Komunikasi dengan menggunakan fakta dalam informasi yang belum utuh, menghasilkan tidak hanya mis-informasi juga bisa berujung pada terjadinya dis-informasi. Sedangkan, pada kajian lain, kita memahami bahwa terdapat opini publik, sebagai bentuk pendapat umum akan suatu tema. Dalam hal ini, tema ataupun kerapkali dikenal sebagai isu, adalah informasi yang belum utuh, disertai dengan kondisi ketidakpastian, sehingga menjadi pembahasan dikalangan publik.
Apa perbedaan diantara keduanya? Bukankah sama dalam uraian informasi yang belum lengkap? Tentu akan sangat tergantung pada motif dalam tujuan berkomunikasi yang terjadi. Dengan demikian, upaya penegakan hukum dalam menangkal hoaks ditujukan untuk mengungkap maksud yang hendak dicapai, serta melihat keterhubungannya dengan dampak yang terjadi ditingkat publik. Apakah dengan begitu kebebasan berekspresi menjadi terbatas? Tentu saja tidak, karena ekspresi dalam bentuk pendapat dibenarkan selama dapat dipertanggungjawabkan.
Lalu apa yang membuat sebuah isu dalam arti informasi yang tidak lengkap tersebut dapat diperlakukan sebagai opini publik dibandingkan dimasukan dalam kriteria hoaks? Tentu saja ada beberapa hal, semisal (a) tingkat kepentingan isu, sifatnya menjadi perhatian secara meluas atau hanya untuk sekelompok pihak tertentu? (b) jangkauan isu, apakah tema yang diperbincangkan itu bersifat lokal dan temporer, ataukah memiliki spektrum yang jauh lebih mendalam dan permanen?.
Pada kedua titik itu, sebuah informasi yang tidak lengkap dapat dipergunakan menjadi alat bagi kepentingan hoaks dalam konotasi negatif, ataupun menjadi opini publik yang bersifat positif. Secara sederhana, identifikasi hoaks dapat terlihat dari anonimitas sumber informasi, kekaburan atas data sumber baik dalam bentuk narasumber maupun sumber kantor berita, berhubungan dengan aspek kredibilitas. Lebih jauh lagi, informasi yang bertendensi kebohongan, umumnya akan bias dalam hal asal-muasal berita yang valid.
Situasi ini diperburuk dengan tingkat literasi media yang masih terbilang rendah. Jumlah pembaca rasional, nampaknya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pembaca emosional. Sehingga, terjadi keterburu-buruan dalam pengambilan keputusan untuk melakukan penyebaran informasi berkelanjutan, sebagai konsekuensi atas format kehidupan modern, yang terdapat dalam struktur sosial yang berjejaring melalui internet. Kemampuan kecepatan distribusi informasi via internet, tidak dibarengi dengan kewaspadaan untuk melakukan selfscreeningalias rekonfirmasi sebuah berita. Â
Makna Reflektif
Tetapi apa yang menarik dari fenomena hoaks yang saat ini merajalela? Pelintiran informasi terus terjadi, dan hal itu terjadi seiring dengan pengentalan pilihan politik dalam proses kontestasi nasional. Dalam arah yang optimistik, kita bisa melihat ada kegairahan untuk terlibat dalam isu-isu politik. Meski dalam posisi yang berkebalikan, kita tentu prihatin dengan potensi gesekan dan konflik terbuka, terutama atas kedangkalan memahami ruang perbedaan pilihan yang terjadi.
Kembali pada makna dari sebuah statement, baik dalam maksud yang terbuka maupun tersembuyi, dalam ilmu komunikasi dapat diterjemahkan kedalam berbagai tingkat, yakni (a) lokusi, yang bermakna sebenarnya -as it, ex. Udara panas ya? Memang, Cuaca sedang terik, (b) ilokusi, makna tersembunyi dari sebuah pernyataan, ex. Panas sekali ya hari ini? Kita nyalakan AC agar lebih sejuk, dan (c) perlokusi, ada turunan tindakan dari makna yang hendak dituju, ex. Huft panas cuacanya ya? Ok nanti setelah AC dinyalakan, akan kubuatkan minuman Es jeruk untukmu.
Kalau kemudian dinyatakan hoaks, maka surat suara "tercoblos" berhadapan denganlokusi makna sebenarnya yang ternyata tidak ditemui sebagai realitas, tetapi menarik untuk dapat memahaminya secara reflektif dalam pemaknaan ilokusi dan perlokusi. Bahwa publik membutuhkan jaminan agar proses politik yang akan berlangsung berlangsung jujur dan adil, serta bebas kecurangan. Apakah kemudian perlu ditangkis persepsi yang sedemikian? Tentu saja tidak, karena hal tersebut adalah bentuk perhatian publik, termasuk bagi para kandidat yang terlibat dalam kontestasi.