Media digital sebagai bentuk langsung komunikasi yang termediasi melalui komputer, menurut (Arifianto, 2018) setidaknya memiliki ciri-ciri antara lain; (1) interactivity -bersifat interaktif, (2) virtualy -dalam dunia maya dan (3) hypertextuality -keberlimpahan teks dan makna, dimana hal ini tentu tidak hanya dapat disimplifikasi sebagai bentuk yang digolongkan dalam klasifikasi new media,tetapi juga sekaligus diartikan sebagai budaya baru komunikasi manusia modern.
Mekanisme yang saling terhubung hanya dengan sentuhan click, membuat interkonektivitas yang ambigu, dimana disatu sisi kita seolah menjadi bagian dari suatu masyarakat maya, sementara disisi yang lain kita pun menjadi sangat individualistik. Keluasan akses dalam penjelajahan online membuat kita kemudian hidup dalam sebuah simulasi, dimana representasi kehadiran fisik seolah menghilang.
Dunia Hiruk Pikuk
Perlintasan ruang dan waktu yang semakin menyempit, sebagai konsekuensi logis akibat dari kemajuan teknologi tidak pelak dalam makna filosofis menyebabkan individu manusia kehilangan waktu untuk berkontemplasi, melakukan penalaran dan pendalaman secara reflektif. Jejaring internet, merasuk pada rutinitas kehidupan dan nampaknya tidak dapat ditinggalkan.
Hal ini pula yang menurut (Melkyor, 2014) membuat abad ini menjadi sedemikian bising, penuh dengan lalu lintas informasi yang menampilkan diri dalam berbagai rupa dan ragam manfaat.Â
Perilaku baru yang timbul dalam lingkup budaya, yang kemudian lahir bersamaan dengan banjir informasi dan kemudahan teknologi adalah; (1) always online -budaya selalu terhubung, (2) comment culture -budaya komentar, dan (3) alone together -sendiri dalam keramaian. Terciptanya budaya baru ini jelas membawa serta dua sisi positif dan sekaligus negative dari keberadaannya.
Kelemahan yang justru terjadi dalam situasi sedemikian, dalam lingkup budaya online baik melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi informasi di dunia maya adalah terjadinya pendangkalan kemampuan verifikasi dalam berpikir secara kritis, segala sesuatu yang hadir di ruang virtual tersebut seolah ditelah mentah-mentah, tidak mampu dicerna, mengejar kecepatan.Â
Obsesi atas kondisi instant ini pula yang kemudian pada akhirnya berdampak kepada kita sebagai individu, yakni (1) kehilangan autentisitas, dan (2) kecenderungan bertindak impulsive, maknanya tidak mampu melakukan kontrol.
Dengan demikian, terdapat peran negara disamping kewarasan individu, untuk melakukan regulasi dan pengaturan dalam hal keterhubungan tersebut. Meski tidak dapat mengelak, tetapi pengelolaan dunia maya menjadi penting, menimbang efek buruk yang juga mungkin ditimbulkannya.Â
Hal itu pula yang menurut (Saud, 2009) yang menjadi tantangan bahkan bagi negara yang otoriter seperti China, bahwa meski negeri tirai bambu itu membuka diri pada arus globalisasi, tetapi sensor dan peraturan yang kaku tetap diterapkan untuk memastikan terbentuknya keteraturan.
Kita tentu tidak berharap jatuh ke lubang pemerintahan otoritarianisme, sebagaimana China berlaku. Tetapi setidaknya, harus terdapat aturan yang tegas, khususnya dalam menyoal keterhubungan online ini.Â