Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Elit Memang Sontoloyo!

25 Oktober 2018   17:10 Diperbarui: 25 Oktober 2018   19:07 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ekspresi spontan itu merupakan respon orisinal, tidak hadir melalui ruang yang dimoderasi, dan presiden kemudian mengumpat kepada politisi sontoloyo. Hal tersebut mungkin refleks naluriah, bentuk akumulasi hal-hal yang terpendam, serta tidak terungkapkan sebelumnya.

Kemarahan, dalam konten dan konteks yang sesuai bisa menjadi kebijaksanaan. Karenanya menempatkan momentum marah harus sesuai situasi dan kondisi yang melingkupinya. Seorang pemarah berbeda karakter dengan tegas. Namun, kita sering terkelabuhi efek kecoh manipulasi citra, yang menggambarkan kemarahan sebagai keberanian bertindak.

Banyak pejabat negeri ini kerap tampil di media massa dengan berlagak marah, atau memang memiliki karakter sebagai pemarah. Tetapi untuk urusan marah-marah setiap waktu, kita justru bisa menilai ada persoalan personalitas serta ketidakmampuan mengelola emosi, karena tekanan pada kepemimpinan memang akan selalu ada. Pepatah mengatakan "semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin menerpa".

Lalu bagaimana memaknai kemarahan Presiden Jokowi kali ini? Setelah sebelumnya memberikan teguran keras kepada direktur BPJS Kesehatan, agaknya kehangatan suasana politik mulai menyebabkan rasa gerah. Politisi oposisi yang kemudian juga bersaing dalam kontestasi, kerap dianggap menyerang arah kebijakan petahana, mungkin saja karena itu ungkapan sontoloyo pun terucapkan.

Persoalan etis atau tidak, bukan dalam konteks kajian ini, tetapi menempatkan kemarahan itu dalam bingkai persoalan kepemimpinan dan politik menjadi tinjauan menarik. Sejatinya politik kita hari ini sangatlah elitis. Bagaimana kepentingan publik lahir sebagai negosiasi elit, hasil kompromi dan negosiasi. Dengan demikian, persoalan publik tercerabut kepentingannya secara substantif, hanya menjadi debat artificial.

Saling serang, maka aksi berbalas reaksi. Hari demi hari belakangan ini, isu yang dibahas semakin beragam, tetapi pola pertentangan diantara kubu elit politik yang bertanding masih sama saja. Kemarahan secara emosional, dalam kerangka individual dapat dimaklumi secara rasional sebagai bentuk antitesis atas realitas sengitnya wajah perpolitikan kita. Tentu, kita berharap bila marah tersebut tidaklah kemudian membuat kekuasaan menjadi antikritik dan seolah terbebas dari potensi kesalahan.

Sesungguhnya publik pun jengah dan lelah, dari situasi polemik dan konflik politik, meski tidak bisa menghindar dari paparan informasi tersebut. Setiap sudut media massa kita seolah asyik membangun ruang pertarungan tersebut, belum lagi menyoal di dunia maya, ledek-meledek sudah seolah menjadi menu wajib keriuhan pro dan kontra atas sebuah isu. Mungkinkah Pemilu bisa menjadi momen ceria dan bergembira?

Maka memang politik elit bersifat sontoloyo, diksi yang bermakna umpatan secara negatif. Kita tidak pernah mampu membangun diskursus yang mencerdaskan. Bahkan perdebatan dengan data pun tidak dipergunakan untuk memperluas wawasan, justru saling berbantah tentang validitas data dan angka-angka yang hampa. Hakikat dibalik angka menjadi kabur, tawaran serta rencana kerja sebagai solusi atas persoalan masih minim dalam bahasan.

Terjebak dalam fallacy ad hominem -saling serang atas individu menjadi mengemuka, termasuk ad populum -yang menempatkan kami benar dan kalian salah dalam kuantifikasi jumlah. Kebenaran kini bukan terletak pada publik yang luas, melainkan pada representasi elitis.

Membangun Politik yang Membebaskan

Jika politik elitis memang sontoloyo, maka kita harus pahami dalam politik dan demokrasi terdapat beberapa level prinsipil, yakni: (1) otorisasi -kewenangan dan kekuasaan, (2) persuasi -mengugah dan mengajak, (3) represi -menekan dan menindak, serta (4) manipulasi -memalsukan dan mengelabui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun