Apakah posisi presiden itu sifatnya individual atau lembaga? Pertanyaan awal tersebut perlu dipastikan, agar kita bisa memahami kedudukan presiden secara utuh.Â
Kita memilih seseorang untuk bertindak sebagai kepala negara dan pemerintahan, yang akan bertindak sebagai pemimpin dan penggambil keputusan tertinggi dari seluruh permasalahan kebangsaan ini.
Persoalan terbesarnya, apakah seorang pemimpin haruslah seorang pemikir yang hebat, atau pengatur yang brilian? Benarkah penyelesaian masalah ditingkat sektoral harusnya selesai di meja birokrasi pada level operasional? Bukankah keputusan krusial yang bersifat strategis dan signifikan harus datang dari seorang pemimpin, yang tentu dalam level kenegaraan hadir dalam jabatan presiden?.
Sejatinya dalam jabatan kepresidenan, maka melekat fungsi kepemimpinan. Dengan demikian, kepemimpinan dapat dimaknai sebagai science and art -seni sekaligus ilmu.Â
Sehingga, seorang yang ditunjuk menjadi pemimpin, memang akan memiliki kualifikasi dengan karakteristik individual yang menonjol. Tetapi dalam era modern, fungsi kepemimpinan tidak lagi bersifat personal melainkan kelembagaan.
Mengapa demikian? Hal tersebut berkaitan dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Mungkinkah seorang presiden sekaligus perumus tunggal ajuan atas rancangan draft sebuah perundang-undangan? Jelas saja tidak, karena ada sistem kelembagaan pada kursi presiden. Bila begitu, apakah presiden merupakan fungsi simbolik yang pasif? Tentu juga tidak demikian.
Perlu dipahami, posisi presiden adalah level tertinggi dalam sebuah struktur sosial bernegara, dengan demikian terdapat power and authority -kekuasaan dan kewenangan yang inheren dalam jabatan tersebut.Â
Hal itu bermakna, presiden bisa saja bukan perumus solusi teknis, tetapi berlaku menjadi pengambil kebijakan sebagai keputusan tertinggi, yang berkonsekuensi atas jalannya roda pemerintahan, dengan berorientasi kepada kepentingan publik.
Kausalitas Subjek Objek Kepemimpinan
Leader adalah pemberi arah tujuan, bukan hanya sekedar dealer yang membangun kesepakatan. Dengan demikian, posisi kepemimpinan akan dekat dengan persoalan serta permasalahan, yang mengharuskan hadirnya solusi sebagai bentuk penyelesaian masalah dan persoalan. Berdasarkan tinjauan kesejarahan, kepemimpinan adalah bentuk interaksi dialogis.
Pola keterhubungan relasional kepemimpinan terjadi antara faktor subjektif -individu kepemimpinan, dengan lingkup objektif -kelompok sosial yang dipimpin. Format hubungan tersebut dapat diformulasikan ke dalam struktur kausalitas -logika jika maka. Jika pemimpin lemah, dengan struktur kelembagaan kepemimpinan -tim think tank yang kuat akan menempatkan tujuan sesuai arah kepentingan kelompok.