Upaya ini dikenal sebagai sosial kritis, dimana para pemikir padaperiode tersebut berupaya untuk mencari akar persoalan serta solusi atas krisis, dengan menyusun jalan keluar melalui tindakan dekonstruksi yang membongkar selubung kepentingan perilaku, khususnya melalui Frankfurt School. Metodenya menggunakan diskursus, forum diskusi dengan saling bertanya dan mencari jawab.
Epilog Perlintasan Ilmu
Hingga kemudian sampailah kepada Habermas, di era yang lebih modern, dengan menyimpulkan tentang kelompok besar ilmu pengetahuan, yakni; empiris analitik atau ilmu alam, historis hermeneutik disebut ilmu budaya dan berakhir pada sosial kritis alias ilmu kritis. Bahwa pada ilmu alam, mencoba mencari noumena dibalik fenomena, gejala alamiah dalam penemuan hukum alam.
Sedangkan pada ilmu budaya, bahasan dalam telaahnya adalah manusia beserta makna perilaku. Dengan demikian dilekatkan pada interpretif, memahami untuk meperkaya pemahaman. Di fase terminal, ilmu kritis akan membawa upaya reflektif pengendapan melalui metanosis, sebuah upaya untuk merespon kritik yang menunjukan kelemahan serta kekurangan, hingga mencapai jalan keluar.
Tidakkah kita hari ini kurang menempatkan waktu bagi upaya reflektif? Pungkas sang Profesor. Apakah ada keistimewaan untuk mempelajari literatur dan berpikir? Tanyanya lebih lanjut. Kita hari-hari ini adalah susunan aksi-reaksi, balas-membalas, bukankah dikarenakan kelemahan berpikir? Cecar Profesor. Lalu kelas kembali hening, larut dalam lamunan sembari menunggu berlalunya sang waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H