Metafora simbolik di tahun politik, memang menggelitik. Ada persoalan lebih substansial, dibanding sekedar memakai analogi. Sebelumnya soal tempe setipis ATM, selanjutnya soal kondisi ekonomi dunia bak perang melawan Thanos. Kemampuan mempergunakan bahasa metafora, harus dilekatkan pada konten dan konteks yang bersesuaian, jika tidak efeknya justru semakin bias.
Bagi lovers and haters, yang selalu akan bersikap antipati kepada pihak yang berlawanan, tentu berbuat apa saja dalam kondisi ini akan serba salah, simpati hanya ditujukan bagi rekan sekubu. Tapi itulah realita kita hari ini.
Meski demikian, jangan mengira bila publik hanya ada diantara lovers and haters semata. Indikasi paling mudah, lovers and haters kerapkali hanyalah akun bodong -fake account, ditujukan bagi upaya membangun keriuhan.
Situasi gaduh -noise di sosial media mendorong terciptanya trending topics, dipergunakan untuk mendapatkan perhatian secara meluas, cara-cara ini tidak mudah dan jelas tidak murah. Pembangunan opini, pembentukan mindset dan persepsi adalah target tertuju. Tapi agaknya publik memiliki kecerdasan yang cukup dalam membangun kesadarannya sendiri, dari narasi rekayasa lovers and haters.
Dalam identifikasi pemilih, ada basis massa tradisional dan rasional. Lovers and haters adalah basis tradisional, lapis ideologis, setidaknya demikian, meski perlu ditelisik faktor ideologi secara mendalam, atau sekedar ketertarikan pada personalitas figur.
Sementara di sisi lain, terdapat pemilih rasional, mereka yang kerap dimaknai sebagai swing voters, yang belum menentukan pilihan -undecided, justru kerap memainkan peran kunci sebagai kuda hitam penentu kemenangan.
Tempe ATM dan Situasi Sulit
Tempe setipis ATM jelas metafora, mencoba membangun logika tentang situasi ekonomi yang tidak menguntungkan. Dalam makna kiasan, hanya dipergunakan sebagai perbandingan, dan bukan makna sesungguhnya.
Konten tentang pergerakan harga dan nilai tukar rupiah yang melemah, hendak diasosiasikan dengan tempe, makanan merakyat. Terlebih, komponen bahan baku kedelai pembuat tempe merupakan produk import, korelasi dampaknya hendak dikonstruksi.
Apakah hal ini dipahami publik? Bagi lovers and haters, ini soal dukungan atas pilihan yang sudah rigid dan solid, jadi rasionalitas tidak dapat tertangkap. Di luar bahasa simbolik tersebut, resizing adalah satu bentuk adaptasi ekonomi yang biasa terjadi, menyikapi perubahan harga bahan baku dalam tekanan ketidakmampuan menaikkan harga jual, kerena melihat kemampuan daya beli di pasar.
Tempe setipis ATM juga memiliki makna sebaliknya, isi dari nilai di dalam ATM hanya setebal tempe alias kecil. Ekonomi kita dalam posisi surut, mengakibatkan porsi kemampuan untuk menyimpan harta dalam bentuk tabungan secara akumulatif semakin terbatas, kebutuhan terbesar masih terserap disektor konsumsi harian rumah tangga. Jadi isi ATM juga setipis tempe.