Pertarungan kekuasaan bahkan terjadi diawal permulaan republik, tidak lama berselang pasca kemerdekaan. Membaca, Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955, seolah menelusuri jalur napak tilas jejak perebutan kuasa sesama anak negeri yang sama berjuang dalam mengusir penjajah.
Menjadi relevan menengok kisah sejarah dimasa lalu untuk belajar kebajikan disana, sekaligus mengambil makna terdalam dari pencapaian demokrasi yang pernah dilalui negeri ini, terlebih saat ini kita tengah bersiap untuk hajat demokrasi Pilpres 2019 yang telah menghangatkan suasana politik dalam negeri, seolah memisahkan kehidupan bersama menjadi kami dan mereka, bukan tentang kita.
Lepas dari imperialisme menuju pernyataan kemerdekaan, melalui proklamasi republik ditahun 1945, sekurangnya kita membutuhkan hampir sedekade lamanya untuk memulai proses pemilu. Refleksikan kondisi gegap gempita politik nasional saat itu, tetapi jangan bayangkan internet dan segala macam kegaduhan diruang virtual dan sosial media seperti saat ini.
Realitanya, pemilu 1955 diikuti tidak kurang dari 27 partai terdaftar. Apa yang ada pada kontestasi politik hari-hari ini jelang Pilpres 2019, agaknya tipikal dengan nuansa dan situasi ditahun Pemilu 1955, meski berbeda setting latar saja. PNI, Masyumi, Partai NU dan PKI menjadi kampiun dengan perolehan diatas 6 juta suara dari total suara 37.7 juta pemilih, dimana tingkat partisipasi sekitar 87.65% dari pemilih terdaftar.
Tingkat partisipasi pada pemilu pertama dinegeri ini jelas sebuah prestasi yang tidak bisa diremehkan, jangan bayangkan moda transportasi dan infrastruktur yang ada saat itu, keikutsertaan publik membuat pemilu 1955 dikenal sebagai proses politik paling jujur dan adil. Meski demikian, ruang kebebasan melakukan pengaturan kedaulatan dan proses kenegaraan melalui politik dan demokrasi, tidak dapat dilepaskan dari perilaku buruk para aktor politik yang terlibat.
Penggunaan isu-isu identitas, menggunakan metode negative campaign, juga dilakukan pada saat itu antar partai. Salah satu berkah yang terjadi dialam demokrasi paska kemerdekaan adalah jaminan atas hak berkumpul, berserikat dan berpendapat, situasi ini diterjemahkan oleh partai politik untuk mengembangkan kemampuan penggunaan media massa cetak yang sehaluan dengan arah partai. Sekalilagi, jangan pernah berpikir soal televisi atau radio kala itu sebagai medium perluasan pesan.
Problemnya, disaat koran partai dijadikan sebagai sarana untuk menjangkau audiens, tingkat melek huruf sangatlah rendah. Maklum saja, situasinya baru lepas dari kondisi perang kemerdekaan, sehingga fokus utama yang diperhatikan terlebih dahulu adalah keberlangsungan kehidupan kenegaraan secara riil, situasi konsolidasi paska penjajahan ini pula yang menyebabkan dibutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menghantarkan proses demokrasi berupa pemilu pertama.
Lalu bagaimana masyarakat yang buta huruf justru ikut aktif berperan untuk menyalurkan aspirasinya melalui partai politik? Disini letak kegagalan yang mungkin terjadi, partai politik dari dulu hingga saat ini, tidak mampu menciptakan narasi gagasan kebangsaan yang melingkupi kepentingan bersama, termasuk melakukan edukasi politik secara positif.Â
Partai politik di Pemilu 1955 pun sama seperti kondisi kita saat ini, memanfaatkan kondisi rendahnya pengetahuan masyarakat untuk mendominasi arah pilih bagi kepentingan politiknya, tanpa berupaya mencerahkan.
Tindakan manipulatif atas ketidaktahuan publik, termasuk diantaranya menawarkan konsesi atas formasi kosong jabatan pengelolaan struktur kekuasaan dari tingkat pusat hingga daerah pun, dilakukan untuk mendapatkan dukungan suara. Hal ini juga terjadi didunia kita yang jauh lebih modern saat ini.Â
Bahkan Herbert mencatat, pembiayaan kegiatan kampanye politik dari partai politik juga kerapkali diambil melalui penyelewengan anggaran alias korupsi dari para tokoh yang telah terlibat pada periode pemerintahan, perilaku ini awet bertahan hingga sekarang.