Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Logika Defisit BPJS Kesehatan Berbalas Audit Provider

9 September 2018   10:20 Diperbarui: 9 September 2018   10:52 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya butuh political will pemerintah! Estimasi defisit BPJS Kesehatan tahun ini berkisar Rp16.5T, sebuah angka yang sangat besar. Terlebih dalam konsepsi asuransi sosial, sumber pendapatan yang berasal dari premi kepesertaan, ternyata tidak mampu menutup klaim pembiayaan layanan kesehatan.

Setelah beroleh hasil audit BPKP, pihak Kementerian Keuangan menyatakan akan melakukan tinjauan ulang. Sementara itu, ditingkat operasional, pertemuan antara penyedia jasa layanan (provider) dalam hal ini dokter dan rumah sakit melalui asosiasi serta perkumpulan, kembali berkomunikasi dengan pihak BPJS Kesehatan, dengan melibatkan KPK.

Mudah dibaca arah pembicaraan yang terjadi, karena sejurus kemudian, edaran untuk melakukan audit eksternal layanan BPJS Kesehatan diberbagai lokasi provider dilangsungkan. Pun periode audit yang akan dijalankan bersifat backdate, bahkan mulai sejak tahun layanan 2016. Tidak berhenti disitu, sosialisasi tentang tindakan dan konsekuensi fraud -kecurangan, kembali dikumandangkan.

Terdapat asumsi yang terbaca dengan jelas dari situasi ini. Pertama: viralitas RS Karya Husada soal keterlambatan bayar klaim tagihan BPJS Kesehatan, hal ini menandakan terjadi persoalan finansial di tubuh pelaksana program SJSN dibidang kesehatan itu. Secara bersamaan, disisi lain muncul surat GP Farmasi kepada Kementerian Kesehatan tentang hutang jatuh tempo sebesar Rp3.5T.

Kedua: pasca audit BPKP, Kemkeu tidak langsung mengeksekusi temuan. Terlebih, kondisi ekonomi domestic juga tidak terlalu baik. Longsornya nilai tukar rupiah membuat situasinya semakin tertekan, sehingga perlu penetapan prioritas penganggaran. Terbukti dalam bentuk evaluasi berbagai program infrastruktur, agar kondisi anggaran pembiayaan menjadi lebih tepat sasaran, sekaligus menjaga cashflow internal.

Apa maknanya? Terdapat fallacy logic -kekeliruan logika, dari apa yang dilakukan pemerintah kali ini berkaitan dengan Audit Eksternal layanan BPJS Kesehatan diberbagai rumah sakit dengan indikasi fraud. Kelemahan dalam memahami akar persoalan, membuat strategi yang dikembangkan lebih bersifat defensif, sembari mengembangkan sikap offensif dengan merujuk pihak lain selaku penyebab fraud sehingga mengakibatkan kondisi defisit terjadi.  

Logika Audit Eskternal

Tidak berhenti di audit BPKP, yang hasilnya juga belum diketahui publik, kini audit eksternal bagi provider -rumah sakit diberlakukan oleh BPJS Kesehatan, pada saat yang sama terjadi keterlambatan pembayaran klaim atas layanan kesehatan nasional ini kepada parapihak terkait. Seolah hendak menegaskan bahwa persoalan desifit adalah konstruksi dari kegiatan curang yang sistematik.

Tidak terlalu sulit membuka logika yang dibangun, yakni: desifit BPJS Kesehatan terjadi akibat klaim layanan, dan klaim layanan berasal dari provider rumah sakit, dengan demikian secara silogisme akan terbentuk, bahwa defisit BPJS Kesehatan merupakan akibat dari aktifitas provider layanan kesehatan. Sederhana, namun mengakibatkan kekeliruan yang sangat dahsyat.

Pertama: BPJS Kesehatan seolah menuding pihak lain sebagai penyebab kegagalan yang bermuara pada kondisi defisit keuangan. Dibanding melakukan evaluasi operasional terkait efektifitas dan efisiensi, termasuk mengevaluasi nilai keekonomian premi layanan dan ketepatan proses pembayaran premi dari peserta, BPJS Kesehatan justru memberi titik tekan pada soal fraud provider.

Kedua: sistematika baru dianggap menjadi penggugur kewajiban, BPJS Kesehatan menggunakan logika, bila aturan baru dapat menghasilkan reduksi tagihan. Dengan demikian, hal ini mampu menjelaskan mengapa proses audit eksternal berlaku surut, dibanding melakukan antisipasi kemudian hari. Perlu ditanya secara terbuka, sesungguhnya berapa besar kapasitas riil finansial BPJS Kesehatan?.

Ketiga: tuduhan kecurangan justru mengarah kepada pihak internal BPJS Kesehatan, karena semua tagihan yang terkirim dari pihak provider telah mengalami verifikasi oleh pihak BPJS Kesehatan itu sendiri sebelum dinyatakan final dan layak serta telah jatuh tempo untuk dibayar sebagai kewajiban.

Keempat: dengan melakukan audit eksternal, yang agaknya akan diberlakukan menyeluruh kali ini, terbayangkan biayanya, yang menjadi double cost dibandingkan memastikan kewajiban bayar pada provider yang telah terjadi. Tentu hal ini sangat disayangkan, terlebih arahan yang diberikan justru mengambil fasilitas talangan kredit modal kerja kepada perbankan, siapa yang tanggungjawab atas bunga dan denda dari bank jika terjadi default pembayaran?.

Kelima: situasi ini secara keseluruhan jelas tidak membangun ruang saling percaya --mutual trust antar stakeholder yang terlibat. Semua saling curiga, sebuah modalitas negatif dari program nasional yang bercita-cita mulia yakni memastikan pemberian layanan kesehatan bagi seluruh warga negara.

Keenam: relasi kuasa yang asimetris, dimana BPJS Kesehatan adalah pengambil keputusan secara mutlak bagi format layanan kesehatan adalah bentuk kesalahan. Reduksi probabilitas medik dan medical judgement diformulasi oleh BPJS Kesehatan sesuai dengan kesesuaian biaya, bukan berdasarkan diagnosa atas symptom gejala yang muncul, karena penentuan penyakit adalah ekspertise dalam berbagai kemungkinan, bukan kalkulasi matematis yang bersifat pasti dan tidak berubah.

Ketujuh: suatu kegiatan yang disandarkan atas kecurigaan, hanya menghasilkan kecurigaan baru sebagai turunannya dan begitu selanjutnya berkesinambungan. Simulasi ini jelas tidak menguntungkan publik. 

Bagi provider ancaman audit eksternal ini adalah soal hidup-mati, diputus dari perjanjian kerjasama atau bisa terkena denda finansial, bukan tidak mungkin terkait ijin operasional, secara ironi, justru luput dari kepastian pembayaran klaim yang sudah ditagihkan.

Secara total, langkah BPJS Kesehatan yang merupakan representasi indtrumen pemerintah kali ini jelas merupakan kesalahan. Tidak hanya dalam aspek logika, tetapi gagal memastikan timbulnya kepercayaan bahwa tujuan program ini bagi kesejahteraan publik, dibanding sekedar upaya membangun sebuah kebijakan populer atas nama publik, terlebih ini tahun politik.

Etika Publik dalam Ruang Konflik

Titik reflektif yang dapat dijadikan sebagai panduan laku dari penyelenggaraan program kegiatan dalam ranah social act ditingkat nasional adalah penguatan etika publik bagi penyelenggara negara. Selama ini kita mengenal istilah etika publik seolah sebagai proses dalam membangun relasi sosial yang menerapkan prinsip etik dalam kehidupan bermasyarakat, padahal tidaklah sedemikian.

Pada dasarnya, etika publik dalam konteks kehidupan bernegara, akan menekankan sekumpulan nilai dan norma serta prinsip moral dalam pembentukan dasar integritas pelayanan publik. Dalam soal etika publik terdapat aspek integritas, yang dimaknai sebagai sikap dan kualitas terbaik, selaras kemampuan dan kompetensi, sehingga tercipta penyelenggaraan kegiatan secara professional.

Disamping itu, etika publik juga menyoal tentang transparansi dan akuntabilitas, sebagai sendi pendukung terbentuknya tujuan dari suatu aktifitas program kerja. Dimana transparansi menyangkut keterbukaan serta akses publik untuk melihat secara jelas, sementara akuntabilitas berkaitan dengan kejelasan pertangungjawaban, sehingga pelayanan publik nantinya mengacu prinsip-prinsip tersebut sebagai dasar etika publik.

Kurangnya penerapan etika publik yang disandarkan pada integritas yang disertai dengan transparansi serta akuntabilitas, mengakibatkan berkurangnya kepercayaan, dan pertentangan diantara parapihak yang saling terhubung dalam program BPJS Kesehatan, mengakibatkan terciptanya perbedaan tajam yang bersifat antagonistik.

Bila hal ini tidak dikelola, serta semakin meruncing, maka potensi konflik yang terjadi justru akan semakin banyak menyerap sumberdaya yang dimiliki, baik tenaga, waktu, pikiran dan biaya, dimana hal ini justru tidak berkenaan dengan solusi yang dibutuhkan dalam memastikan pemberian layanan paripurna bagi pasien, menjamin kepastian pembayaran secara layak kepada pemberi layanan yakni dokter beserta rumah sakit, sekaligus mengatasi masalah defisit keuangan BPJS Kesehatan itu sendiri.

Lagi-lagi hanya butuh political will yang kuat dan pengelolaan profesional dalam memastikan layanan kesehatan publik melalui BPJS Kesehatan, serta membangun interkoneksi kerangka kerja yang sinergis secara saling supportif bersama dengan provider --dokter dan rumah sakit, guna memastikan masyarakat yang sehat dan berdayasaing bagi kemajuan bangsa ini!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun