Hanya butuh political will pemerintah! Estimasi defisit BPJS Kesehatan tahun ini berkisar Rp16.5T, sebuah angka yang sangat besar. Terlebih dalam konsepsi asuransi sosial, sumber pendapatan yang berasal dari premi kepesertaan, ternyata tidak mampu menutup klaim pembiayaan layanan kesehatan.
Setelah beroleh hasil audit BPKP, pihak Kementerian Keuangan menyatakan akan melakukan tinjauan ulang. Sementara itu, ditingkat operasional, pertemuan antara penyedia jasa layanan (provider) dalam hal ini dokter dan rumah sakit melalui asosiasi serta perkumpulan, kembali berkomunikasi dengan pihak BPJS Kesehatan, dengan melibatkan KPK.
Mudah dibaca arah pembicaraan yang terjadi, karena sejurus kemudian, edaran untuk melakukan audit eksternal layanan BPJS Kesehatan diberbagai lokasi provider dilangsungkan. Pun periode audit yang akan dijalankan bersifat backdate, bahkan mulai sejak tahun layanan 2016. Tidak berhenti disitu, sosialisasi tentang tindakan dan konsekuensi fraud -kecurangan, kembali dikumandangkan.
Terdapat asumsi yang terbaca dengan jelas dari situasi ini. Pertama: viralitas RS Karya Husada soal keterlambatan bayar klaim tagihan BPJS Kesehatan, hal ini menandakan terjadi persoalan finansial di tubuh pelaksana program SJSN dibidang kesehatan itu. Secara bersamaan, disisi lain muncul surat GP Farmasi kepada Kementerian Kesehatan tentang hutang jatuh tempo sebesar Rp3.5T.
Kedua: pasca audit BPKP, Kemkeu tidak langsung mengeksekusi temuan. Terlebih, kondisi ekonomi domestic juga tidak terlalu baik. Longsornya nilai tukar rupiah membuat situasinya semakin tertekan, sehingga perlu penetapan prioritas penganggaran. Terbukti dalam bentuk evaluasi berbagai program infrastruktur, agar kondisi anggaran pembiayaan menjadi lebih tepat sasaran, sekaligus menjaga cashflow internal.
Apa maknanya? Terdapat fallacy logic -kekeliruan logika, dari apa yang dilakukan pemerintah kali ini berkaitan dengan Audit Eksternal layanan BPJS Kesehatan diberbagai rumah sakit dengan indikasi fraud. Kelemahan dalam memahami akar persoalan, membuat strategi yang dikembangkan lebih bersifat defensif, sembari mengembangkan sikap offensif dengan merujuk pihak lain selaku penyebab fraud sehingga mengakibatkan kondisi defisit terjadi. Â
Logika Audit Eskternal
Tidak berhenti di audit BPKP, yang hasilnya juga belum diketahui publik, kini audit eksternal bagi provider -rumah sakit diberlakukan oleh BPJS Kesehatan, pada saat yang sama terjadi keterlambatan pembayaran klaim atas layanan kesehatan nasional ini kepada parapihak terkait. Seolah hendak menegaskan bahwa persoalan desifit adalah konstruksi dari kegiatan curang yang sistematik.
Tidak terlalu sulit membuka logika yang dibangun, yakni: desifit BPJS Kesehatan terjadi akibat klaim layanan, dan klaim layanan berasal dari provider rumah sakit, dengan demikian secara silogisme akan terbentuk, bahwa defisit BPJS Kesehatan merupakan akibat dari aktifitas provider layanan kesehatan. Sederhana, namun mengakibatkan kekeliruan yang sangat dahsyat.
Pertama: BPJS Kesehatan seolah menuding pihak lain sebagai penyebab kegagalan yang bermuara pada kondisi defisit keuangan. Dibanding melakukan evaluasi operasional terkait efektifitas dan efisiensi, termasuk mengevaluasi nilai keekonomian premi layanan dan ketepatan proses pembayaran premi dari peserta, BPJS Kesehatan justru memberi titik tekan pada soal fraud provider.
Kedua: sistematika baru dianggap menjadi penggugur kewajiban, BPJS Kesehatan menggunakan logika, bila aturan baru dapat menghasilkan reduksi tagihan. Dengan demikian, hal ini mampu menjelaskan mengapa proses audit eksternal berlaku surut, dibanding melakukan antisipasi kemudian hari. Perlu ditanya secara terbuka, sesungguhnya berapa besar kapasitas riil finansial BPJS Kesehatan?.