Proses politik akan menjadi representatif, bila berlangsung partisipatoris, dalam upaya melibatkan publik secara meluas. Alih-alih ukuran kuantitas yang bisa jadi manipulatif, maka nilai kualitas dalam proses politik menjadi indikator dari bagaimana terjadinya pelibatan publik, terkait hal-hal yang bersesuaian dengan kebutuhan publik itu sendiri.
Momentum politik yang umumnya menjadi acuan adalah periode pemilu, dimana tingkat partisipasi pemilih, dimaknai sebagai bentuk aktif dari ketertarikan publik untuk menyuarakan aspirasi politiknya melalui pilihan politik yang tersedia.
Secara bersamaan, posisi yang berlawanan dari tingkat partisipasi pemilih, dimaknai sebagai bentuk dari sikap politik untuk menghindari proses pemilihan yang dilangsungkan, dikenal dalam istilah golput -golongan putih. Benarkah asumsi tersebut? Adakah ruang privat secara politik?.
Sesungguhnya, dalam pemaknaan dasar, pilihan untuk tidak memilih adalah sebuah bentuk pernyataan sikap, dan dengan demikian menjadi sebuah opsi alternatif. Peran serta dalam proses pemilihan politik adalah bagian dari hak yang melekat sebagai warga negara. Ketika hal ini dinyatakan sebagai sebuah hak, maka melekat didalamnya pertanggungjawaban.
Meski dinyatakan sebagai hak yang tidak bersifat mengikat, dan berbeda dalam aspek keharusan dari kriteria lain yakni kewajiban, tetapi logika tanggungjawab dalam sebuah hak, mengakibatkan terdapatnya konsekuensi turunan. Bila Anda tidak turut serta dalam proses politik pemilihan, dan kemudian pada akhirnya menghasilkan pemimpin serta kepemimpinan yang tidak mampu membawa solusi bagi persoalan bersama, maka ada prinsip tanggung renteng moralitas kita dalam ikut andil menciptakan hal tersebut.
Bukankah terdapat hak privat untuk tidak memilih diantara pilihan? Tentu saja hal itu dihargai sebagai sebuah hak individu, tetapi pada ruang bersama keterlibatan serta partisipasi publik adalah bentuk kepedulian atas masa depan diri kita secara bersama. Logika awalnya, individu membangun komunitas bersama, yang kemudian terdapat didalamnya representasi individu terletak pada sebuah komunitas secara interaktif, dimana hak individu melekat kepada kepentingan objektif kolektif.
Dilema Legitimasi Politik
Tingkat partisipasi publik dalam pemilu sejak era reformasi, dimulai dari tahun 1999 hingga 2014 mengalami trend yang terus menurun. Hal ini perlu dicermati sebagai sebuah fenomena sosial politik, meski secara bersamaan kita terus berupaya menstimulasi keikutsertaan publik sebagai bentuk tanggungjawab kewarganegaraan terhadap kehidupan bernegara.
Penurunan tingkat partisipasi pemilih diawali pada 1999 (92.6%), disusul pada periode 2004 (84.1%), lantas semakin turun pada tahun pemilihan 2009 (70.9%), meski kemudian terlihat naik ketika pemilu 2014 yakni (75.2%) tetapi hal ini kemudian kembali turun pada pilkada serentak 2018 dengan tingkat partisipasi sebesar 73.2%. Apa maknanya deretan angka tersebut?.
Ada persoalan disana, kesimpulan utamanya penuruan partisipasi diartikan secara linier sebagai peningkatan golput. Dengan demikian kita perlu memahami motivasi golput sebagai sebuah tindakan politik, yang diklasifikasikan menjadi; (1) golput secara politik -sebagai bentuk penolakan atas ruang pemilu karena jauh dari prinsip demokrasi ideal, (2) golput secara teknis -terbentuk akibat kegagalan sistematik sistem pendaftaran pemilih, (3) golput secara praktis -memandang politik jauh dari urusan individu sehingga memilih alasan praktis untuk menghindari pemilu, (4) golput secara ideologis -sistem pemilu tidak mewakili dan menterjemahkan kepentingan bersama dibanding kepentingan elit.
Lantas dimana pemaknaan golput dalam sistem demokrasi Indonesia? Pengalaman terakhir diajang Pilkada serentak 2018, khususnya kemenangan kotak kosong pada Pilkada Makassar dengan raihan suara diatas sekitar 53% bagi kotak kosong, adalah bentuk dari golput jaman now. Pemilih sadar untuk tidak memilih, ketika ruang demokrasi dalam bentuk kotak kosong dilembagakan.