Meski belum ada pasangan calon yang resmi mendaftar di KPU, tetapi dalam kesimpulan umum, akan terdapat setidaknya dua pasangan yang akan mendaftar dilimit akhir. Persis mengulang kontestasi 2014, meski mungkin bisa berubah diwaktu yang semakin mendekati tenggat.Â
Tetapi situasinya berbeda. Pada 2014, pasangan yang terlibat dalam Pilpres kala itu terhitung sebanding, karena pengalaman dalam pentas kekuasaan politik ditingkat nasional yang masih terbilang baru.
Kini, kubu petahana telah hadir sebagai representasi pemegang mandat kuasa, dan kembali maju untuk ikut terlibat sebagai calon kandidat dalam Pilpres 2019. Tentu pihak penandingnya akan berupaya sekuat tenaga, dalam berkompetisi merebut simpati dan dukungan publik. Peta pertarungan gagasan dan ide kebangsaan akan sangat ditentukan oleh arah dan strategi komunikasi yang dibentuk kemudian.
Kedua kubu yang akan maju dalam kontestasi Pilpres 2019, sudah seharusnya mempersiapkan seluruh tools kampanye yang akan dilakukan paska pendaftaran calon secara paralel, meski masih menghadapi kendala komunikasi dan negosiasi dalam pembentukan pasangan saat ini, karena bila hal tersebut terlewatkan, tentu waktu yang dibutuhkan untuk melakukan sosialisasi dan mendorong eskalasi popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas akan sulit tercapai secara optimal.
Hal ini jelas menjadi keuntungan bagi petahana, karena dalam durasi waktu kerjanya merupakan sarana efektif untuk memupuk popularitas menuju elektabilitas dibilik suara. Keuntungan lain yang dimiliki incumbent yang kembali bertarung dalam sebuah pemilihan adalah bukti konkrit dari aktifitas pekerjaan yang telah dilakukan, terlebih bila memang hal tersebut bertabur prestasi. Sebuah posisi yang jelas memberikan keunggulan tersendiri.
Bersamaan dengan itu, aspek yang menjadi titik lemah petahana akan di balancing dengan tawaran program kerja baru. Dengan demikian, akan ada harapan baru yang dibangun serta dimunculkan dalam upaya persuasif dari kubu penguasa.Â
Pola komunikasi yang dilancarkan akan berputar pada upaya meneguhkan posisi pemilih loyal, sekaligus menstimulasi ketertarikan bagi pemilih pemula, serta semaksimal mungkin menarik simpati dari kubu berseberangan. Mungkinkah hal yang terakhir terjadi? Tentu sangat bergantung pada strategi komunikasi yang dibangun.
Petahana memiliki kecenderungan untuk menggunakan simbol-simbol, mengidentifikasikan diri dengan asosiasi tertentu, musik rock, sepatu kets, potongan baju kemeja casual. Dalam tutur verbal memakai low context culture, nampak berhemat untuk berbicara, dengan kalimat-kalimat pendek. Menggunakan penekanan pada aspek pragmatis atas program kerja.
Di sisi lain, penantang akan secara kritis membedah sisi kekurangan petahana. Kemampuan untuk memainkan sisi proksemik, kedekatan ruang dan jarak dengan audiens akan membantu kubu penanding untuk dapat menjalin relasi secara intens pada khalayak.
Ketika petahana menggunakan gaya persuasi low context culture, maka pihak penanding bisa memulai dengan kemampuan retorika secara agresif. Tentu saja, pola komunikasi tersebut harus disusun dengan sangat terukur serta terencana, disertai data dan bukti penyerta.
Sebagai pihak penantang, pola kampanye yang dilakukan tentu harus terbuka, sebisa mungkin menjangkau massa secara meluas. Petahana memiliki modalitas atas kerja periode sebelumnya, dengan demikian kubu yang berseberangan harus lebih massif dalam upaya perluasan ide dan gagasan.