Musik adalah bahasa universal. bahkan berbeda pandangan politik sekalipun, musiknya bisa sama. Maka artis musik menjadi bagian tidak terpisahkan dari wajah perpolitikan nasional.
Konser yang digagas Slank dengan "Salam 2 Jari" berhasil membawa Jokowi pada tampuk kekuasaan. Bahasa musik, terbilang mampu secara efektif membawa seorang kandidat pada kursi kuasa.
Mengapa demikian? (1) sang artis pelantun musik memiliki basis fans serta popularitas, sehingga dapat membantu sosialisasi seorang calon; (2) musik menjadi bahasa pemersatu diluar ideologi, selama gagasan diterima, perubahan tindakan penggemar dapat saja terjadi.
Perjalanan musik dipentas politik domestik sudah merentang sejak jaman orde baru, sebut saja Iwan Fals yang tampil dengan lagu balada bertema kritik satir dengan judul menarik semisal Bento, Oemar Bakri, Pesawat Tempur dll.
Bahkan musik yang mengigit secara politik pun pernah dilakukan Sang Raja Dangdut, Rhoma Irama pada periode sekitar 1970-an akhir.
Meski kebanyakan artis musik bisa jadi memilih berafiliasi kepada kekuasaan dengan berbagai motif, mulai dari ideologi hingga ekonomi pada saat itu, Rhoma Irama melakukan pilihan berbeda.
Dangdut yang menjadi musik populer karena keterlekatan dengan basis budaya Melayu, secara efektif meningkatkan perolehan suara PPP, meski partai kampiun dari pesta demokrasinya sudah dapat ditebak.
Kehadiran Rhoma Irama sebagai vote gather dan juru kampanye melalui pertunjukan musik dangdut pada pemilu 1977, berhasil memenangkan posisi PPP khususnya di Jakarta.
Aspek kesamaan perspektif politik dan ideologi, menjadi pilihan Rhoma Irama kala itu, dibanding alasan rasional untuk menjadi bagian penyokong kekuasaan.
Sebut saja tentang lagu Hak Azasi yang mempersoalkan kebebasan warga negara, dan pemerkosaan hak-hak tersebut bertentangan dengan prinsip kemanusiaan, termasuk didalamnya hak beragama dan berbicara.
Musikalisasi Politik: Dulu, Kini dan Nanti