Bukan hanya banjir data,abad ini ditandai dengan hadirnya Tsunami Informasi. Hal itu mudahditebak, karena teknologi informasi semakin memudahkan kita semua (baca: populasi) untuk menerima dan membagikan informasi yang kita terima begitu saja tanpa proses verifikasi dan validasi.
Pemerintah kemudian merumuskan UU ITE, yang ruh awalnya menghadang potensi kriminalitas akibat kemajuan teknologi dengan menggunakan pendekatan azas penipuan digital dan berbagai kegiatan yang tipikal lainnya. Kini, salah satuyang menjadi keberatan banyak pihak adalah berubahnya arah angin UUITE, yang juga menyasar pasal karet tentang perbuatan tidak menyenangkan.
Dalam teori komunikasi,hubungan antara sender (pengirim informasi) dan reciever(penerima informasi) terjadi melalui transmisi informasi yangkerap kali berhadapan dengan noise (gangguan). Nah, celakanyaera sosial media memang menghadirkan begitu banyak informasi yang kerapkali dihadirkan oleh para pihak untuk tujuan tertentu.
Sama halnya seperti mata pisau, Tsunami Informasi memberikan kemudahan akses berbagaiinformasi baru, yang kemudian bila tidak disertai dengan prinsip kehati-hatian dapat menyercap racun informasi sebagai gangguan dari proses berkomunikasi itu sendiri. Didunia maya, khususnya jagat online memang tidak bertuan, berbeda dengan dunia nyata yang penuh aturan baku norma dan etik.
Karakteristik penting yang harus dipahami dalam abad internet adalah timbulnya kesetaraan (egaliter), tidak ada sekat sosial antara atasan dan bawahan, semua menjadi individu dirinya sendiri. Pertanyaan mendasarnya kemudian apakah kebebasan itu berlaku mutlak sebebasnya tanpa aturan?Atau tetap akan ada sebuah regulasi yang menjadi garis restriksi yang mengatur?.
Pada jawaban dari pertanyaan diatas, maka penulis berpendapat bahwa pembatas yang utamadari Tsunami Informasi adalah kesadaran pengguna informasi itusendiri selaku end user. Mendorong terciptanya kesadaran dan kematangan dalam zaman digital jelas tidak mudah dan tidak dapat dilakukan dalam sekejap.Â
Sama seperti analogi tentang pisau, yang dapat digunakan sebagai senjata pembunuh,tetapi pada sisi sebaliknya dapat pula dipakai untuk menjadi alat pemotong, maka demikian halnya dengan media sosial saat ini. Mendorong timbulnya sebuah kesadaran dalam kedewasaan menyerap informasi serta membangun kearifan baru, tentu akan lebih bermakna daripada sekedar membatasi dengan punishment serupa hukuman badan melalui aturan perundangan.Â
Tentu hal ini akanmenjadi sebuah polemik yang tidak akan berakhir dengan sendirinya,tentu ditengarai bila banyak juga pihak yang akan menjadi penunggang dari era kebebasan informasi. Tetapi bila kesadaran bersosial media menjadi budaya baru pada era modern, maka para penyusup tersebut akan ter-eliminasi secara alamiah.
Kita tentu dengan mudah membandingkan studi kasus menarik mengenai pemilihan Presiden di Amerika Serikat yang menempatkan Donald Trump sebagai pucuk pimpinan negara, salah satu yang menjadi evaluasi adalah pengaruh Facebook yang dianggap mendorong terciptanya pemberitaan hoax secara massif mengenai Hillary, yang membuat situs jejaring sosial tersebut melakukan evaluasi dan perbaikan sistem untuk melakukan screening informasi.
Meski diunggulkan pada berbagai survey, bahkan Hillary dengan partai demokratnya didukung oleh begitu banyak artis Hollywood, toh tetap tidak menghentikan langkah Trump menjadi Presiden. Formulasi pertanyaan selanjutnya, apakah berita Hoax mendorong terciptanya simpati pada Trump? Apakah berita hoax yang sama menimbulkan antipati pada Hillary? Ataukah kesadaran mayoritas populasi pemilih dapat dikendalikan ole hberita Hoax yang mengepung jagat informasi mereka?.
Jelas diperlukan penelitian yang mendalam dan kasus-kasus diseputar sosial media terbilang unik, tetapi sebagai gambaran dasar, populasi memiliki kecerdasan alamiah, ada kondisi dimana mereka memiliki keberpihakan dan simpati melalui kemampuan berpikirnya sendiri. Pada kasus lokal, kita akan melihat signifikansi Tsunami Informasi aksi unjuk rasa 212dan 411 yang sangat massif.