Berbicara mengenai haji bukan berarti kemampuan pemahaman akan ke-Islaman saya lebih dalam dibandingkan para Kiai dan Ustadz, namun nampak menarik untuk dapat dipahami bila sesungguhnya potensi ibadah yang dapat dilakukan dari kehendak berhaji itu dapat disalurkan secara sosial.
Sesungguhnya tidak ada hal dapat membatasi niat seseorang untuk dapat melaksanakan ibadah haji secara berkali-kali, namun sayangnya negeri dengan mayoritas penduduk muslim, Indonesia mengalami selisih yang terlalu besar antara kehendak berhaji dengan kuota berhaji.
Bayangkan saja, pada periode 2014, kita memiliki kuota jemaah haji hanya sebesar 168 ribu, berbanding terbalik dengan jumlah antrean yang mencapai 2,6 juta calon haji, hal ini pula yang menyebabkan daftar tunggu (waiting list) berkisar 10-15 tahun.
Disamping terdapat potensi dana yang tidak sedikit dari Dana Haji, tercatat terhimpun Rp 60 trilliun, sebagai ketentuan dari setoran awal Ibadah Haji yang ditetapkan sebesar Rp25juta. Pada sisi lain, kita kerap berhadapan dengan individu yang bisa berhaji lebih dari 1 kali, bahkan pada beberapa wawancara televisi ada seorang Jamaah yang sudah hampi 10 kali berhaji.
Dalam kerangka ibadah, maka kita mengenal istilah Hablum Minallah (hubungan vertikal) dan Hablum Minan-nas (hubungan horisontal), dimana dalam persoalan ini, seorang yang bisa berhaji lebih dari 1 kali dalam seumur hidupnya, untuk kasus di Indonesia, menyebabkan semakin panjangnya antrian berhaji bagi pihak lain.
Diaspek cakupan masalah tersebut, relasi ibadah vertikal dipenuhi, sementara ibadah horisontal menjadi bermasalah, karena lapisan antrian menjadi mengular. Beribadah tentu bukan kesalahan, tetapi tidak indah dan elok bila kita membuka ruang untuk mempertebal keimanan sementara ada orang yang harus bersabar dalam antrian panjang untuk melakukan hal yang serupa.
Ibadah haji dan berqurban adalah bagian dari ritual perjalanan spiritual, sementara berkurban untuk tidak mengutamakan diri sendiri dan memberikan kesempatan pada orang lain adalah bentuk kesalehan sosial yang menjadi bagian ibadah sosial yang semoga menjadi amal kebaikan tambahan.
Perlu aturan pemerintah yang tegas, dalam hal ini membatasi periode berhaji, karena ketika barisan antrian semakin panjang, maka kita akan melihat fenomena jemaah haji yang rentan dan rawan dalam melaksanakan kewajiban ibadah haji yang didominasi aspek fisik, terutama bagi mereka yang telah berusia lanjut.
Lebih jauh lagi, agaknya potensi dana haji juga dapat menjadi bagian dari kerangka pembiayaan pembangunan yang selama ini masih ditopang oleh hutang asing, bahwa dana haji dapat dikelola bagi kebaikan ummat dengan aspek transparansi dan akuntabilitas yang jelas, agar dana jumbo itu tidak hanya menganggur dan menarik bunga semata, sementara tidak berada disektor riil yang mendukung terciptanya pembangunan memberikan nilai manfaat dan barokah bagi ummat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H