Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ketahanan Pangan berbekal Pencabutan Subsidi Pupuk?

19 Oktober 2014   17:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:29 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pemerintah melalui spokeperson kementerian pertanian dipenghujung masa kepemimpinannya, sempat mencuatkan usulan untuk menghapuskan subsidi pupuk bagi petani.

Hal ini disebabkan karena disparitas harga pupuk subsidi dengan non-subsidi yang berakibat pada penyelewengan kuota pupuk bersubsidi. Kondisi tersebut menyebabkan asumsi pencadangan subsidi pupuk sebanyak 7.78 juta ton menjadi bertambah sekitar 9.55 juta ton.

Konsekuensi yang harus ditanggung secara anggaran akibat terjadinya disalokasi atas distribusi pupuk bersubsidi adalah pertambahan besaran subsidi senilai Rp4.13 triliun menjadi Rp18.05 triliun.

Bahkan disebutkan format dari bentuk pengalihan atas kompensasi pencabutan subsidi pupuk nantinya akan berupa pembangunan infrastruktur pertanian, seperti menjadi sumber dana bagi kepentingan irigasi dan jaminan harga beli dari petani.

Tentu hal tersebut akan menjadi konsideran dari pemerintahan yang baru, dalam domain pembentukan kebijakan serta penyusunan program kerja yang akan dibuat pada periode 2014-2019 mendatang.

Jelas, bahwa ide pencabutan subsidi pupuk memiliki dampak langsung yang dapat berakibat sebagai hantaman atas insentif serta stimulasi dibidang pertanian. Terlebih sektor ini memiliki peran penting bagi konsepsi ketahanan pangan yang mulai goyah.

Daya konsumsi yang bertambah tidak diimbangi dengan revitalisasi sektor pertanian, membuat negara ini penuh dibanjiri oleh import produk pertanian serta perkebunan, jelas hal tersebut mengkhawatirkan.

Rendahnya kepemilikan lahan petani lokal, bahkan status petani terdegradasi menjadi petani penggarap membuat tingkat kesejahteraan pekerja yang terlibat dalam sektor pertanian menjadi marjinal.

Setumpuk persoalan, mulai dari alih fungsi lahan menjadi berbagai kegunaan lain membuat sektor pertanian menjadi semakin terdesak. Belum lagi, kesulitan atas akses bibit, pupuk, pengairan serta stabilisasi harga dikala panen raya belum juga terpecahkan.

Hilangnya peran penyuluh pertanian hingga lemahnya lembaga ekonomi kolektif swadaya semacam koperasi unit desa membuat bisnis di sektor pertanian menjadi penuh kerawanan.

Belum lagi pada persoalan difaktor mekanisasi pertanian, kemudian berlanjut pada tingkat kesuburan tanah hingga problematika cuaca seperti kemarau yang melanda saat dihampir seluruh daerah di Indonesia sekarang.

Pada posisi tersebut, membuat para pemburu rente yang mengail keuntungan dari kebijakan import pangan kemudian menjadi memiliki celah masuk untuk membuat bangsa ini memiliki ketergantungan akan pangan import.

Untuk persoalan subsidi pupuk, jelas bahwa mekanisme yang salah adalah aspek distribusi, dan pola penerapan implementasi subsidi. Bahwa subsidi diterima pabrik pupuk untuk mendistribusikan ke tingkat petani melalui jalur distribusi dibawahnya terselewengkan.

Pupuk bersubsidi kemudian dijual dibawah harga pupuk non subsidi, mudah ditebak konsumennya adalah pelaku dibidang pertanian serta perkebunan pula yang tidak termasuk menjadi daftar sasaran penerima bantuan subsidi.

Jika logika sederhana itu mudah dipahami, maka mekanisme pengawasan dan monitoring atas distribusi pupuk bersubsidi harusnya menjadi terang benderang, termasuk pemberlakuan sanksi tegas dalam bentuk hukuman kepada pelaku.

Bila subsidi pupuk dipertahankan, lalu apakah perbaikan infrastruktur dan instrumen stabilisasi harga kemudian menjadi diabaikan? Tentu tidak, asalkan alokasi subsidi pupuk sesuai, dipastikan tidak terjadi rembesan, maka produktivitas diharapkan meningkat, maka kolektif kumpulan petani kecil dapat menjadi partner pendukung pemerintah untuk bersama membangun sistem irigasi yang baik, serta menguatkan peran serta koperasi unit desa sebagai lumbung stabilisasi pangan terkecil.

Semua tentu berpulang kepada pemerintahan baru, dalam formulasi dasar kebutuhan hidup manusia, maka pangan menempati urutan prioritas, dan hal itu menjadi primary needs yang tidak dapat ditawar lagi, jadi ketika kebijakan terkait bidang tersebut salah dikelola, maka bisa dipastikan gejolak dan riaknya akan berdampak diberbagai bidang terkait.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun